Peneliti UNDIP: Anggaran Kesehatan RI Terlalu Kecil, Kalah dari Thailand

29 Mei 2020 18:06 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris (kiri) bersama Petugas Penanganan Pengaduan Peserta Rumah Sakit (P3RS) melayani pasien peserta BPJS Kesehatan. Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris (kiri) bersama Petugas Penanganan Pengaduan Peserta Rumah Sakit (P3RS) melayani pasien peserta BPJS Kesehatan. Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
ADVERTISEMENT
Sistem kesehatan di Indonesia dinilai masih buruk. Peneliti dan Dosen Universitas Diponegoro (UNDIP) Retna Hanani mengatakan salah satu penyebab buruknya jaminan kesehatan di Indonesia adalah anggaran yang minim.
ADVERTISEMENT
“Satu hal yang banyak dikritik bahkan oleh World Bank adalah bahwa salah satu aspek yang enggak berubah di Indonesia ternyata dukungan finansial dari pemerintah terhadp isu jaminan kesehatan itu selalu tidak mencukupi,” ungkap Retna dalam diskusi daring bersama LP3ES, Jumat (29/2).
Retna menjelaskan sesuai amanat Undang-undang Dasar, alokasi anggaran untuk kesehatan adalah sebesar 5 persen dari keseluruhan APBN. Sayangnya, angka ini dinilai terlalu kecil. Bahkan menurut Retna, Thailand yang punya kondisi ekonomi dan politik hampir sama dengan Indonesia, justru mengalokasikan anggaran kesehatan yang lebih besar.
“Enggak harus lihat Inggris sebagai contoh sistem kesehatan yang bagus. Cukup liat Thailand saja. Mereka mengalokasikan 15 persen dari anggaran pemerintahnya untuk kesehatan,” ujar Retna.
ADVERTISEMENT
“Sangat berbeda dengan Indonesia. Bahkan di Indonesia 5 persen itu juga baru akhir-akhir ini. Biasanya hanya sekitar 3 persen dari keseluruhan APBN,” sambungnya.
Minimnya anggaran kesehatan ini menurut Retna terlihat dari ketersediaan layanan kesehatan yang rendah dan tidak merata. Faktanya, rasio ketersediaan tempat tidur di rumah sakit hanya berkisar 1,07 tempat tidur per 1.000 penduduk. Angka ini jauh di bawah rekomendasi WHO yaitu 2,5 tempat tidur per 1.000 penduduk. “Ini lebih rendah dibandingkan Thailand, Malaysia dan Vietnam,” ujar Retna.
Petugas melayani pelanggan di Kantor BPJS Kesehatan, Jakarta, Senin (9/3). Foto: ANATRA FOTO/M Risyal Hidayat
Selain itu ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan termasuk tenaga medis antarprovinsi juga tidak merata. Retna membeberkan bahwa fasilitas kesehatan hanya terpusat di Jawa, Bali, dan sebagian Sumatera. Kondisi tersebut sangat berbeda jauh dibandingkan Papua dan Nusa Tenggara Timur.
ADVERTISEMENT
“Terjadi disparitas yang sangat signifikan antara satu daerah dan daerah lain,” ujarnya.

COVID-19 Bongkar Bobroknya Sistem Kesehatan Indonesia

World Health Organization (WHO) sempat mengeluarkan pernyataan bahwa pandemi virus corona (COVID-19) yang terjadi saat ini membongkar buruknya kondisi sistem kesehatan negara-negara di dunia.
COVID-19 membuat banyak negara kalang kabut karena sistem kesehatan mereka ternyata tak memadai. Kebutuhan fasilitas medis meroket tajam dalam hitungan hari, sementara ketersediaan sarana dan prasarananya sangat terbatas.
Kondisi ini juga berakibat fatal pada para tenaga medis yang jadi garis depan menghadapi pandemi ini. Mereka bekerja dengan alat yang terbatas dan tak bisa beroperasi efektif.
Polda Metro Jaya terjunkan personel Polisi Wanita membantu memulasarkan jenazah pasien corona. Foto: Dok. Polda Metro Jaya
Peneliti dan Dosen Universitas Diponegoro Retna Hanani membenarkan bahwa pandemi ini membuat kebobrokan sistem kesehatan di Indonesia menjadi terlihat terbongkar.
ADVERTISEMENT
“COVID-19 itu sebenernya adalah salah satu momen kerapuhan sistem kesehatan kita itu dibuka,” ungkap Retna.
Retna mengatakan ketersediaan layanan kesehatan Indonesia masih sangat rendah dan tidak merata. Contohnya, rasio ketersediaan tempat tidur di rumah sakit hanya berkisar 1,07 tempat tidur per 1.000 penduduk. Angka ini jauh di bawah rekomendasi WHO yaitu 2,5 tempat tidur per 1.000 penduduk. “Ini lebih rendah dibandingkan Thailand, Malaysia dan Vietnam,” ujar Retna.
Selain itu ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan termasuk tenaga medis antar provinsi juga tidak merata. Retna membeberkan bahwa fasilitas kesehatan hanya terpusat di Jawa, Bali dan sebagian Sumatera. Kondisi tersebut sangat berbeda jauh dibandingkan Papua dan Nusa Tenggara Timur.
“Terjadi disparitas yang sangat signifikan antara satu daerah dan daerah lain,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, hadirnya BPJS Kesehatan ternyata juga tidak 100 persen memberikan jaminan kesehatan bagi masyarakat. Apalagi, BPJS Kesehatan selalu diwarnai dengan berbagai masalah finansial yang akhirnya berdampak pada pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat.
Meski demikian Retna menyadari bahwa kehadiran BPJS Kesehatan saat ini membuat lebih dari 80 persen masyarakat Indonesia terlindungi dalam sebuah sistem asuransi. Sayangnya, menurut Retna hal tersebut tidak cukup.
“Tetapi proses itu terjadi tanpa ada reformasi kondisi struktural pelayanan kesehatan. Supply side terbatas, model klasifikasi ruang perawatan di rumah sakit membuat diskriminasi tetap terjadi. Intinya harus ada perubahan yang sifatnya struktural. Ini berkaitan dengan di mana prioritas pemerintah dalam membiayai dan mengelola sistem kesehatannya,” tutup Retna.
ADVERTISEMENT