Pengamat: Pengguna Cantrang Bukan Nelayan Kecil, Modalnya Ratusan Juta

23 Januari 2021 16:39 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kapal Cantrang yang beralih alat tangkap Foto: Arifin Asydhad/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kapal Cantrang yang beralih alat tangkap Foto: Arifin Asydhad/kumparan
ADVERTISEMENT
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali menuai protes dari berbagai kalangan setelah memperbolehkan penggunaan cantrang kembali. Direktur Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban, Maritim Suhana mengatakan, keputusan KKP melegalkan kembali cantrang hanya akan membuat perdebatan usang yang tidak pernah selesai.
ADVERTISEMENT
“Perdebatan cantrang ini sudah lama sekali dari tahun 1980. Jadi kalau kembali dilegalkan dalam Permen KP 59 2020 akan kembali mengulang pada perdebatan lama, tidak akan selesai,” ujar Suhana kepada kumparan, Sabtu (23/1).
Seperti diketahui, pelegalan cantrang merupakan realisasi dari Peraturan Menteri KP Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penempatan API dan APBI di WPPNRI dan Laut Lepas. KKP beralasan cantrang diperbolehkan kembali karena banyaknya nelayan kecil yang menggantungkan hidup di sana. Sementara alat tangkap yang lebih efisien belum ada.
Suhana pun menyatakan kontra dengan alasan KKP. Menurutnya pengguna cantrang bukan nelayan kecil. “Pengguna cantrang sekarang itu tidak ada nelayan kecil. Modalnya saja ratusan juta,” ujarnya.
Menurut Suhana justru dengan dilegalkannya cantrang, yang dirugikan adalah nelayan cilik yang sesungguhnya. Yaitu para nelayan tradisional non cantrang yang jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang nelayan cantrang.
ADVERTISEMENT
Menurut Suhana para nelayan tradisional ini yang akan semakin terpuruk. Sebab tidak ada yang melindungi ham dan kepentingan mereka.
“Nelayan tradisional enggak ada back up kecuali di back up LSM,” ujarnya.
Kapal Cantrang di Natuna. Foto: Dok: Istimewa
Selain itu jika cantrang dilegalkan kembali, hal tersebut menurut Suhana akan menimbulkan konflik horizontal di lapangan. Sebab ada alat tangkap sejenis cantrang yang juga dilarang penggunaannya yaitu pukat.
Alat tangkap pukat kebanyakan digunakan oleh nelayan di Sumatera. Sementara cantrang banyak digunakan oleh nelayan Jawa Tengah. Jika cantrang dilegalkan, ada kemungkinan nelayan pukat juga akan meminta kebijakan yang sama. Akibatnya laut bisa semakin terancam karena kedua alat tangkap ini dinilai merusak ekosistem laut.
“Ini yang menyebabkan konflik horizontal di lapangan. Kalau cantrang dibolehkan, pukat di Sumatera minta dibebaskan juga. Sudahlah hancur laut,” ujar Suhana.
ADVERTISEMENT
Apalagi nelayan cantrang selama ini diketahui banyak yang tidak jujur. Dalam dokumen perizinan, para nelayan cantrang mendaftarkan kapalnya berukuran di bawah 30 gross ton (GT). Padahal faktanya setelah diukur ulang, banyak ditemukan kapal dengan ukuran di atas 60 GT. Artinya banyak yang melakukan markdown ukuran kapal.
Suhana pun mengusulkan agar kebijakan soal cantrang dikembalikan kepada kesepakatan antara Presiden Joko Widodo dengan para nelayan cantrang yang disetujui pada 17 Januari 2018 silam.
Pada waktu itu, Jokowi menemui nelayan Jawa Tengah yang berasal dari Tegal, Batang, Pati, dan Rembang dan melakukan dialog soal penggunaan cantrang. Dalam pertemuan yang berlangsung selama satu jam tersebut, Jokowi sepakat dengan para nelayan bahwa pemerintah tidak akan mencabut Peraturan Menteri tentang pelarangan cantrang. Namun, pemerintah akan memberikan perpanjangan waktu kepada kapal cantrang untuk beralih ke alat tangkap lain yang lebih ramah laut. Sembari berpindah alat tangkap, nelayan pun tetap boleh melaut asalkan tidak menambah jumlah kapal cantrang.
ADVERTISEMENT
“Menurut saya kembalikan saja pada kesepakatan 17 Januari 2018 antara Presiden Jokowi dengan para pemilik cantrang. Kesepakatan 17 Januari 2018 itu merupakan titik klimaks dari perdebatan cantrang dari tahun 1980,” ujar Suhana. Menurut Suhana pasca kesepakatan tersebut, KKP lantas membentuk satgas peralihan alat tangkap cantrang.
Sayangnya saat ini keberadaan satgas tersebut tidak diketahui ke mana rimbanya. Menurut Suhana seharusnya KKP dan nelayan cantrang konsisten dengan kesepakatan tersebut, bukan malah mengembalikan ke perdebatan lama.
“Semua pihak harus konsisten dan menghormati kesepakatan 17 Januari 2018 tersebut. Perjalanan perdebatan cantrang ini sudah lama sekali. Jangan dikembalikan ke perdebatan lama lagi,” tandasnya.