Pengusaha Ritel Sebut Rencana PPN Sembako Bakal Tekan Daya Beli Masyarakat

25 Agustus 2021 13:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan Sri Mulyani berkunjung ke Pasar Santa, Jakarta Selatan, untuk berbelanja dan menjelaskan PPN Sembako (14/6). Foto: Instagram/@smindrawati
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani berkunjung ke Pasar Santa, Jakarta Selatan, untuk berbelanja dan menjelaskan PPN Sembako (14/6). Foto: Instagram/@smindrawati
ADVERTISEMENT
Pengusaha ritel yang tergabung dalam Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) menolak rencana pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada sejumlah bahan pokok atau PPN sembako. Sebelumnya, sembako masuk dalam barang yang dikecualikan dari PPN.
ADVERTISEMENT
Adapun rencana sembako kena pajak itu dimasukkan pemerintah dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). RUU KUP saat ini masih terus dibahas di DPR, termasuk meminta tanggapan dari berbagai pihak seperti Aprindo.
"Dengan dikeluarkannya dari list (daftar) tidak dikenakan PPN pada kebutuhan bahan pokok (sembako), maka adanya peluang untuk mendorong ‘Pengenaan PPN’ yang akan membebani daya beli & konsumsi masyarakat terutama berpenghasilan rendah," seperti dikutip dari bahan paparan Aprindo saat RDPU Panja RUU KUP dengan Komisi XI, Rabu (24/8).
Aprindo menilai, jika daya beli masyarakat terganggu, otomatis akan berdampak pada turunnya konsumsi rumah tangga dan dampak sosial lainnya.
Aprindo juga menyoroti rencana kenaikan tarif PPN secara umum dari 10 persen menjadi 12 persen dalam RUU KUP karena juga akan berdampak pada melandainya daya beli masyarakat. Lalu, dikenakannya sistem multitarif terendah 5 persen dan tertinggi 15 persen akan mengakibatkan pembebanan pada masyarakat berpenghasilan rendah senilai minimal 5 persen yang sebelumnya tidak terkena.
ADVERTISEMENT
Aprindo juga berpendapat, terjadinya perbedaan tarif PPN antara barang bahan pokok di retail modern dan tradisional akan menggeser perilaku konsumen ke pasar tradisional, karena dianggap lebih murah. Padahal, sebenarnya tidak demikian.
"Dengan adanya perbedaan tarif PPN (multitarif) antar barang yang di jual peritel modern, maka black/shadow market akan meningkat dan menjadi pilihan konsumen," demikian isi dalam bahan paparan Aprindo.
Selain itu, akan sering terjadi dispute dalam pengawasan dan pemeriksaan berbagai jenis barang pada ritel yang jumlah unit penjaga stok besar dan keragaman yang signifikan.
Poin lain yang disorot Aprindo adalah perubahan adanya pengenaan PPH minimum (dikenakannya pajak 1 persen pada pendapatan/omzet kotor, untuk perusahan yang berada pada kondisi rugi). Menurut Aprindo, ketentuan itu akan membahayakan industri ini. Pertama, menambah beban tambahan bagi peritel yang mengalami kerugian, sehingga kebijakan strategis dalam hal penutupan gerai, hilangnya investasi, hingga PHK massal.
ADVERTISEMENT
Kedua, khususnya type ritel pangan/essensial, rasio PPh badannya kurang dari 1 persen, sehingga tarif minimal 1 persen tidak akan pernah tercapai dan menambah beban peritel.
Ketiga, revisi tersebut tidak mendukung iklim atas investasi bagi startup/new domestic investment pada development store, karena grace period peritel minimal dan di atas lima tahun. Keempat, akan terjadi pengalihan investasi dari para foreign investor kepada peritel di luar Indonesia.