Perdagangan Karbon 99 PLTU Belum Jalan di 2023, Imbas Dampak ke Tarif Listrik

18 Desember 2023 11:52 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
PLTU Sumsel-8 resmi beroperasi secara komersial. Foto: dok. PT Bukit Asam
zoom-in-whitePerbesar
PLTU Sumsel-8 resmi beroperasi secara komersial. Foto: dok. PT Bukit Asam
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan perdagangan karbon di subsektor ketenagalistrikan, mencakup 99 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di tahun 2023 ini ternyata belum kunjung berjalan.
ADVERTISEMENT
Inisiatif tersebut awalnya menandakan ketenagalistrikan sebagai subsektor pertama yang menjalani perdagangan karbon. Sebanyak 99 PLTU tersebut berasal dari 42 perusahaan dengan total kapasitas terpasang 33.569 megawatt (MW).
Sekretaris Direktorat Jenderal, Ida Nuryatin Finahari, menuturkan implementasi perdagangan karbon di subsektor ketenagalistrikan dibagi menjadi 3 fase, yakni fase pertama periode 2023-2024, fase kedua 2025-2027, dan fase ketiga 2028-2030.
"Tentunya memang di tahun 2023 belum terjadi perdagangan karbon ini, karena memang belum ditetapkan sebenarnya berapa sih besaran perdagangan karbon ini," ungkapnya, dikutip Senin (18/12).
Ida menjelaskan, asumsi beban-beban perdagangan karbon seperti pengenaan pajak karbon jika diterapkan angkanya sebesar USD 2 per ton, akan berdampak pada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik PT PLN (Persero), sebab PLTU mayoritas peserta perdagangan karbon ada di wilayah usaha PLN.
ADVERTISEMENT
"Kita tahu bahwa di dalam penentuan BPP semuanya dihitung, dan dampak perdagangan karbon ini juga tentunya akan berimplikasi pada kenaikan BPP dan saat ini kita sedang melakukan pembahasan dengan Kementerian Keuangan," tuturnya.
Pekerja berada disekitar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Desa Lelilef Sawai Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara, Rabu (30/8/2023). Foto: Andri Saputra/ANTARA FOTO
Pembahasan tersebut, lanjut dia, yakni menetapkan beban perdagangan karbon tidak termasuk komponen allowable cost, namun termasuk non allowable cost. Hal ini akan berdampak pada diubahnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 174/PMK.05/2019.
"Ini pun sedang kita koordinasi. Jadi semuanya masih berlangsung dan masih kita bahas," tambah Ida.
Adapun ada 4 kategori PLTU peserta perdagangan karbon di tahun 2023, yakni 25 unit PLTU non mulut tambang di atas 400 MW, 60 unit PLTU non mulut tambang antara 100-400 MW, dan 14 unit PLTU mulut tambang di atas 100 MW.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyebut tahun depan pemerintah akan mewajibkan perusahaan tidak hanya mengurangi emisi dengan jual beli kredit karbon, namun juga dengan carbon offset sehingga penurunan emisinya lebih signifikan.
"Karena itu tidak bisa atau tidak cukup hanya mencari dari (perusahaan) yang kurang emisinya. Dia harus mencari emisi karbon kredit misalkan dari efisiensi. Misalkan energi terbarukan, ini ada real penurunan," jelasnya.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (6/10/2023). Foto: Ghinaa Rahmatika/kumparan
Dadan mengakui, penurunan emisi di sektor ketenagalistrikan masih belum sedemikian besar. Hal ini karena pertimbangan beban perdagangan karbon terhadap BPP listrik yang akan berpengaruh kepada tarif listrik.
"Kita ingin mengkombinasikan antara kemampuan PLTU dalam hal ini teknologi, dan pengaruhnya terhadap BPP. Ini kan harus seimbang. karena per sekarang kita dalam posisi penurunan emisi itu adalah kewajiban dari penyedia listrik," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Dia juga telah meminta beban perdagangan karbon menjadi komponen non allowable cost BPP listrik. Sebab, berbagai efisiensi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca oleh PLTU bisa berkontribusi pada 3 persen BPP.
"Saya sih secara khusus mintanya tidak masuk. Ini kan bisa dilakukan upaya-upaya misalnya peningkatan efisiensi pembakaran, kontrol antara rasio udara dan bahan bakar, gini-gini bisa sampai 3 persen," tegas Dadan.