PERHAPI: RI Tak Perlu Khawatir jika Kalah di WTO soal Larangan Ekspor Nikel

13 September 2022 8:40 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang pekerja melakukan proses peleburan nikel di Soroako, Sulawesi Selatan. Foto: AFP/BANNU MAZANDRA
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pekerja melakukan proses peleburan nikel di Soroako, Sulawesi Selatan. Foto: AFP/BANNU MAZANDRA
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) memastikan akan terus mendukung pemerintah melanjutkan hilirisasi di tengah ancaman gugatan Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait kebijakan larangan ekspor bahan mentah nikel. PERHAPI menganggap apa pun keputusan WTO, Indonesia harus tetap akan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki untuk kemajuan industri dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Ketua Umum PERHAPI Rizal Kasli mengungkapkan jika nantinya Indonesia kalah atau harus kembali membuka keran ekspor nikel, masih banyak hal yang dapat dilakukan agar hilirisasi terus berjalan. Menurutnya, Indonesia tidak akan dengan mudah mengekspor bijih nikel yang saat ini menjadi incaran berbagai negara.
“Kita diberi kelebihan dengan sumber daya yang ada. sumber daya ini wajib digunakan semaksimal mungkin untuk kemajuan bangsa dan negara. Jika pemerintah telah memberi sinyal nantinya akan menaikkan tarif ekspor bijih, itu hanya salah satu jalan agar ekspor bijih menjadi tidak menarik atau tidak menguntungkan. Namun masih ada beberapa langkah lainnya yang dapat dilakukan,” ungkap Rizal melalui keterangan tertulis, Selasa (13/9).
Rizal menegaskan apa pun keputusan WTO nantinya, yang paling harus dijaga adalah kepastian terhadap investasi. Ia mengatakan pemerintah harus mengamankan rantai pasok bijih nikel terhadap industri yang telah dan akan tumbuh, yakni pabrik peleburan (smelter) dan pemurnian (refinery).
ADVERTISEMENT
Selain meningkatkan tarif ekspor, pemerintah juga dapat mengatur jumlah produksi melalui Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) pemegang izin pertambangan. Pembatasan produksi dapat dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral guna menjaga umur cadangan nikel dalam negeri.
Tak hanya itu, kata Rizal, pemerintah juga bisa menerapkan kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) bagi para pemegang izin produksi pertambangan nikel, seperti yang telah dilakukan di batu bara. Ia merasa hal itu wajib dilakukan guna memastikan kebutuhan negeri dapat terpenuhi. Menurutnya, hilirisasi nikel yang telah berjalan harus mendapatkan jaminan bahwa pabriknya tidak akan kekurangan pasokan.
“Berbagai kebijakan ini nantinya akan bermuara pada ekspor menjadi tidak menarik, dan industri yang telah tumbuh dipastikan akan terus tumbuh. Di sisi lain, secara ekonomis, industri yang dekat dengan bahan baku akan lebih menguntungkan,” jelas Rizal.
ADVERTISEMENT
Rizal mengungkapkan, tuntutan dari Uni Eropa juga harus menyadarkan pemerintah akan kepastian dan kenyamanan berinvestasi. Ia mengatakan Indonesia telah mengeluarkan berbagai izin kepada para investor, tetapi dalam pelaksanaannya masih banyak hambatan di lapangan.
Rizal menuturkan izin yang telah diterbitkan kadang tidak dapat dilaksanakan karena tidak adanya dukungan di daerah. Kepastian hukum terhadap izin juga sering dipertanyakan.
“Kita sudah hidup di dunia tanpa batas. Sehingga, setiap investor dapat memilih di mana pun ia akan berinvestasi. Untuk itu, pemerintah juga harus berbenah dan tidak hanya sekadar melarang atau memperketat ekspor bahan mentah. Penciptaan iklim investasi yang nyaman dan aman serta berkepastian hukum haruslah benar-benar dijalankan," ujar Rizal.
Ilustrasi tambang nikel. Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad
"Sinkronisasi dan harmonisasi pusat dan daerah, penertiban pertambangan ilegal, kemudahan dan kecepatan mengurus perizinan, dan dukungan implementasi di lapangan harus menjadi prioritas. Intinya, para investor hadir karena kenyamanan dan keinginan, bukan keterpaksaan,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Rizal menjelaskan masifnya pembangunan pabrik nikel berteknologi pyrometallurgy tersebut, di satu sisi menimbulkan kekhawatiran akan cadangan bijih nikel kadar tinggi. Perhitungan dari Kementerian ESDM, jika eksplorasi lanjutan tidak dilakukan, serta cadangan tidak bertambah, maka cadangan hanya akan dapat mensuplai kebutuhan pabrik sekitar 7 tahun saja.
"Jika keran ekspor dibuka, justru membahayakan karena terkait keberlangsungan industri berbasis nikel yang sudah berjalan baik di Indonesia. Hilirisasi nikel telah memberikan multiplier effect yang besar berupa peningkatan devisa, peningkatan Pendapatan Domestic Bruto, penyerapan tenaga kerja, serta penerimaan negara dan daerah," tutur Rizal.

Jokowi Menyinggung soal Kekalahan di WTO

Status Indonesia di dalam gugatan Uni Eropa ke WTO belum ada keputusan. Adapun gugatan tersebut adalah soal kebijakan larangan ekspor bahan mentah nikel yang diterapkan Pemerintah Indonesia sejak 1 Januari 2020 silam.
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi menegaskan keberaniannya dalam mengambil kebijakan meski ditantang negara-negara lainnya.
Presiden Jokowi pada Ratas Mengenai Kebijakan Visa on Arrival, Istana Merdeka, Jumat (9/9/2022). Foto: Lukas/Biro Pers Sekretariat Presiden
"Pemimpin enggak perlu takut setop ekspor nikel, enggak apa-apa. Kelihatannya gagal kita di WTO, enggak apa-apa, industrinya sudah jadi dulu, kalah (di WTO) enggak apa-apa, syukur bisa menang," kata Jokowi saat membuka acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia 2022, Rabu (7/9).
Jokowi mengatakan apabila kalah dalam gugatan, Indonesia tetap bisa memperbaiki industri hilirisasi di dalam negeri. "Tapi kalau kalah ya industrinya sudah jadi dulu, enggak apa-apa, ini memperbaiki tata kelola dan nilai tambah di dalam negeri," pungkasnya.