Peringati Hari Buruh, KSPI Ajukan 9 Tuntutan ke Jokowi

1 Mei 2021 16:36 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Buruh menggelar aksi memperingati hari buruh atau May Day di Jakarta, Sabtu (1/5/2021). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
zoom-in-whitePerbesar
Buruh menggelar aksi memperingati hari buruh atau May Day di Jakarta, Sabtu (1/5/2021). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
ADVERTISEMENT
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengajukan 9 tuntutan kepada Presiden Jokowi di hari buruh sedunia atau May Day. Tuntutan ini masih sama, yaitu mengenai dampak permasalahan terhadap buruh yang timbul di Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK).
ADVERTISEMENT
Pertama, terkait pengaturan upah minimum. Dalam undang-undang cipta kerja diatur Upah Minimum Kota/Kabupaten bersyarat, Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) dihapus, dan dasar penetapan UMP dan UMK bersifat alternatif, yaitu inflasi atau pertumbuhan ekonomi.
“Pengaturan yang demikian menunjukan tidak adanya perlindungan dari negara untuk mengupayakan kesejahteraan buruh,” kata Presiden KSPI Said Iqbal melalui keterangan tertulis, Sabtu (1/5).
Said menuturkan, dalam pengaturan upah minimum seharusnya ditetapkan, UMK tanpa syarat, UMSK tetap diberlakukan, dan dasar penetapan UMP dan UMK bersifat kumulatif, yaitu inflasi dan pertumbuhan ekonomi, di mana setiap 5 tahun sekali dilakukan peninjauan ulang terhadap Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Kedua, terkait pengaturan pesangon, menurutnya dalam Undang-Undang sapu jagat ini diatur nilai UP, UPMK, dan UPH ditetapkan standarnya; dan nilai UPH 15 persen dihilangkan.
Pengunjuk rasa mengenakan masker dengan tulisan Buruh Bukan Budak saat mengikuti unjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja Omnibus Law di depan gedung DPRD Jateng, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (7/10). Foto: Aji Styawan/ANTARA FOTO
Semestinya jelas Said, dengan membuat pengaturan nilai UP, UPMK, dan UPH tidak ditetapkan sesuai ketentuan (nilai standar), melainkan bersifat paling rendah (nilai minimum).
ADVERTISEMENT
“Agar terbuka peluang bagi perusahaan untuk memberikan nilai lebih kepada buruh, dan nilai UPH 15 persen tidak dihilangkan,” katanya.
Ketiga, terkait pengaturan outsourcing. Dalam undang-undang sapu jagat diatur hanya ada satu jenis outsourcing, yaitu outsourcing pekerja yang bisa dilakukan untuk semua jenis pekerjaan, termasuk untuk kegiatan pokok (tidak hanya kegiatan penunjang).
Menurut KSPI, perlindungan dan kesejahteraan bagi buruh sesuai tujuan bernegara hanya dapat dicapai apabila: outsourcing dibatasi untuk 5 jenis pekerjaan saja yang terdiri dari outsourcing pekerjaan dan outsourcing pekerja yang dikhususkan untuk kegiatan penunjang.
“Apabila outsourcing dibenarkan untuk kegiatan pokok maka dapat terjadi seluruh atau sebagian besar pekerja di suatu perusahaan adalah pekerja outsourcing abadi yang ketika mengalami PHK dia tidak akan menerima pesangon dan jaminan sosial dari perusahaan tempatnya bekerja,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Keempat, terkait pengaturan karyawan kontrak (PKWT). Pegawai kontrak tidak dibatasi periode dan batas waktu kontrak kerja. Aturan tersebut dinilai tidak sesuai dengan tujuan bernegara sebab dengan pengaturan itu buruh dapat dikontrak dalam jangka pendek, tanpa periode, dan secara terus menerus atau tanpa batas waktu sehingga menyebabkan buruh kehilangan kesempatan menjadi karyawan tetap (PKWTT).
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal melakukan orasi saat unjuk rasa buruh di depan kawasan Patung Arjunawiwaha atau Patung Kuda, Jakarta, Senin (2/11). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
Untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada buruh seharusnya diatur dibuat pembatasan PKWT 3-7 periode kontrak dengan batas maksimal waktu kontrak 5-7 tahun yang diatur pada tingkat UU. Dengan begitu buruh memiliki kepastian hukum dan berpeluang menjadi karyawan tetap.
Kelima, terkait pengaturan tenaga kerja asing (TKA). Dalam undang-undang sapu jagat diatur TKA kategori buruh kasar (unskilled workers) diberi peluang secara luas untuk bekerja di Indonesia tanpa suatu izin dengan pengawasan terbatas.
ADVERTISEMENT
"Ketentuan tersebut tidak menunjukkan adanya perlindungan kepada pekerja WNI yang semestinya mendapatkan prioritas untuk mengisi posisi atau pekerjaan tersebut. Oleh sebab itu, sesuai dengan tujuan bernegara untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada buruh lokal diperlukan izin tertulis dari menteri sebagai bentuk pengawasan terhadap TKA yang bekerja di Indonesia," ujar Said Iqbal.
Keenam, terkait pengaturan PHK. Dalam UUCK diatur, pekerja dapat di PHK secara sepihak oleh perusahaan tanpa harus menunggu penetapan pengadilan PHI dan dalam kondisi tersebut pengusaha dibenarkan untuk tidak membayar upah buruh, jaminan kesehatan, dan hak pekerja lainnya.
Ketentuan tersebut tidak selaras dengan tujuan bernegara untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada pekerja/buruh sehingga terhadap aturan PHK, pengusaha hanya dibenarkan melakukannya setelah ada penetapan dari pengadilan PHI dengan tetap memenuhi hak-hak buruh sebelum adanya putusan pengadilan PHI. PHK yang dilakukan tanpa mengikuti ketentuan tersebut harus dinyatakan batal demi hukum.
ADVERTISEMENT
Ketujuh, terkait pengaturan pidana. Dalam UUCK diatur: pengusaha yang menggunakan TKA tanpa izin tertulis dari menteri terbebas dari sanksi pidana; dan tidak dibayarkannya UPMK dan UPH tidak disertai ancaman pidana. KSPI menegaskan, demi memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada buruh sesuai dengan tujuan bernegara sudah seharusnya pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan dalam hal menggunakan TKA tak berizin dan tidak membayar UPMK dan UPH kepada pekerja dikenai sanksi pidana.
Kedelapan, terkait pengaturan cuti dan istirahat. Dalam UUCK diatur: hak libur (1 hari) hanya diberikan kepada buruh yang bekerja selama 6 hari dalam seminggu; hak upah buruh tidak dibayarkan apabila buruh menggunakan cuti tahunan; dan tidak ada lagi hak istirahat/cuti panjang yang diberikan kepada buruh.
ADVERTISEMENT
Aturan-aturan tersebut sama sekali tidak memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi buruh sebab selain yang bekerja 6 hari dalam seminggu, terdapat pula buruh yang bekerja selama 5 hari dalam seminggu sehingga terhadap mereka perlu pula dibuat pengaturan yang jelas dengan memberikan libur selama 2 hari; terhadap buruh yang menggunakan cuti tahunan harus pula tetap dibayarkan upahnya; dan hak cuti/ istirahat panjang buruh harus tetap diberikan.
Kesembilan, terkait pengaturan waktu kerja. Dalam UUCK diatur: waktu lembur buruh dapat diberikan kepada buruh sampai dengan 4 jam per hari dan 18 jam per minggu. Ketentuan tersebut mengakibatkan waktu kerja buruh menjadi lebih panjang dan mengurangi hak libur bekerja bagi buruh. Demi memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada buruh seharusnya waktu lembur ditentukan paling banyak 3 jam/hari dan 14 jam per minggu.
ADVERTISEMENT