Poin Penting Omnibus Law: Pajak Perusahaan Turun hingga Atur Upah per Jam

12 Februari 2020 7:47 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah buruh beristirahat makan siang di bawah konstruksi jembatan di proyek Jalan Tol Pekanbaru-Dumai, Provinsi Riau, Selasa (30/4/2019). Foto: ANTARA FOTO/FB Anggoro
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah buruh beristirahat makan siang di bawah konstruksi jembatan di proyek Jalan Tol Pekanbaru-Dumai, Provinsi Riau, Selasa (30/4/2019). Foto: ANTARA FOTO/FB Anggoro
ADVERTISEMENT
Pemerintah menargetkan ekonomi domestik bisa semakin tumbuh dan investasi masuk dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law.
ADVERTISEMENT
Sebanyak dua RUU Omnibus Law telah masuk Prolegnas Prioritas 2020, yaitu Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) dan Perpajakan. Namun, baru RUU Omnibus Law Perpajakan yang drafnya telah diserahkan ke DPR RI.
Berikut kumparan rangkum sejumlah poin penting dalam RUU Omnibus Law tersebut:

Perpajakan

Tarif Pajak Badan Turun
Pemerintah berencana akan menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan secara bertahap hingga menjadi 20 persen di 2023. Saat ini, tarif PPh Badan sebesar 25 persen.
Selain itu, dalam RUU tersebut juga memuat tambahan penurunan tarif PPh bagi wajib pajak go public sebesar 3 persen, serta penurunan PPh atas dividen dan PPh pasal 26 atas bunga.
Meski demikian, pemerintah memahami dengan adanya sejumlah penurunan PPh akan berimbas ke penerimaan negara. Bahkan Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan, potensi penerimaan negara yang hilang dari turunnya tarif PPh akan sebesar Rp 80 triliun.
ADVERTISEMENT
"Sekitar Rp 80 triliun karena tarif turun untuk PPh," kata Suryo dalam diskusi di kantornya, Jakarta, Selasa (11/2).
Pajak Teritori
Selain mengatur PPh, RUU Omnibus Law Perpajakan juga akan mengatur sistem teritori untuk penghasilan luar negeri. Terdapat dua penyesuaian, yaitu penghasilan tertentu termasuk dividen dari luar negeri tidak dikenakan PPh selama diinvestasikan di Indonesia dan penghasilan warga negara asing (WNA) yang merupakan subjek pajak dalam negeri (SPDN) hanya dihitung atas penghasilan dari Indonesia.
Selain itu, bakal terdapat perubahan penentuan subjek pajak orang pribadi. Pada substansi ini diberikan ketentuan yakni WNI yang tinggal di luar negeri lebih dari 183 hari dapat menjadi subjek pajak luar negeri (SPLN). Sedangkan WNA yang tinggal lebih dari 183 hari di Indonesia menjadi SPDN.
ADVERTISEMENT
"Diaspora yang kegiatan di luar negeri lebih dari 183 hari, bagaimana memajakinya ini dalam RUU kami berikan klarifikasi. Walaupun dia kerja di luar negeri, dia lebih ari 183 hari, dia bisa di-treatment subjek pajak luar negeri," kata Suryo.
Lampu Hijau Objek Cukai Baru
Jika RUU Omnibus Law ini disahkan menjadi UU, maka nantinya penambahan objek cukai tak perlu lagi mendapatkan izin legislator. Saat ini beberapa rencana penambahan objek cukai, seperti cukai plastik hingga soda, masih terkendala persetujuan DPR RI.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan, nantinya objek cukai itu bisa langsung dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan tak perlu lagi mendapat izin DPR RI. Hal ini lantaran izin prinsipnya sudah tertuang dalam Omnibus Law Perpajakan.
ADVERTISEMENT
"Kami berharap izin prinsip itu sudah diberikan di Omnibus Law, dan diserahkan pada pemerintah dengan mempertimbangkan tujuan pengendalian, yang bersifat dinamis dan fleksibel. Sehingga kalau itu disetujui, ini bisa langsung diturunkan dalam PP," ujar Heru.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi, saat ngobrol santai bersama wartawan di Kantor Dirjen Pajak, Jakarta, Selasa (11/2). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Begitu juga dengan penentuan tarif objek cukai tersebut, tak perlu lagi izin DPR dan bisa ditentukan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
"Iya. Sehingga tujuan pengendalian dan pembatasan dari barang-barang yang jadi objek cukai baru itu bisa langsung diimplementasikan berdasarkan PP," jelasnya.

Cilaka

Korban PHK Dapat 5 Kali Gaji
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, salah satu yang baru dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja adalah soal jaminan bagi pekerja yang menjadi korban PHK.
"Yang kita perkenalkan di formula pesangon adalah jaminan kehilangan pekerjaan. Cash benefit kemudian vokasi (pelatihan) dan placement (kerja baru)," kata Ida.
ADVERTISEMENT
Menurut Ida, sebelumnya tidak ada aturan mengenai jaminan pekerjaan dan kehilangan kerja. Menurut dia, pekerja yang menjadi korban PHK akan dijamin mendapatkan pesangon 5 kali gaji.
"Itu bagian dari top up kompensasi PHK, itu pengaturan PHK juga akan diatur di UU Omnibus Law, berapa lama dia masa kerjanya, akan mendapat apa, akan diatur," sebutnya.
Pengusaha Batu Bara Untung
Pengusaha batu bara yang melakukan hilirisasi di dalam negeri bakal mencicipi insentif super ringan. Mereka bakal dibebaskan dari royalti alias setoran negara bukan pajak hingga nol persen jika RUU Omnibus Law Cilaka disahkan menjadi UU.
Pengusaha yang bisa menikmati insentif itu adalah yang melakukan gasifikasi batu bara. Mereka diminta untuk mengubah batu bara menjadi Dymethil Ether (DME) sebagai bahan baku LPG yang selama ini impor.
ADVERTISEMENT
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menjelaskan, pemerintah mengusulkan penghapusan royalti hingga nol persen karena proyek gasifikasi di dalam negeri terbilang mahal.
"Kalau di kita mesin dan teknologi semua beli. Jadi mahal. Ini makanya harus berikan insentif. Tapi keputusan itu ada di pemerintah (belum ada keputusan final)," kata Bambang dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Jakarta, Selasa (11/2).
Sebuah kapal tongkang membawa batu bara yang menunggu masuk bongkar muat di pelabuhan tanjung priok. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Meski begitu, Bambang mengaku belum ada keputusan final atas penghapusan royalti bagi taipan batu bara itu. Kata dia, pihaknya memang diajak diskusi dengan kementerian lain untuk membahas insentif ini dalam hal kalkulasi nilai insentif.
"Pertama, royaltinya berapa. Ini Pak Menko (Airlangga Hartarto) bilang sampai nol. Lalu harga jualnya berapa dan perpajakannya seperti apa, ini belum diputuskan, masih dibahas," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Sistem Upah per Jam
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) khawatir Omnibus Law akan menghapus sistem upah minimum yang selama ini diterima buruh. Menurutnya, aturan upah per jam itu dapat menjadi 'senjata' pengusaha untuk mengakali para pekerja.
Selain itu, sistem upah per jam dikhawatirkan menghapus hak pegawai perempuan untuk cuti haid maupun melahirkan, juga merugikan buruh pada saat ada kepentingan khusus, seperti haji maupun pada saat sakit. Perihal pesangon juga dipertanyakan.
Dengan upah per jam berbasis produktivitas, serikat memprediksi jam kerja akan semakin panjang untuk mendapatkan upah layak. Pengusaha bisa sewaktu-waktu mengurangi atau menambah jam kerja.
Contohnya dengan UMP DKI Jakarta yang sebesar Rp 4,2 juta untuk kerja 8 jam per hari, maka seorang pekerja pada dasarnya dihargai Rp 26.250 per jam. Pekerja harus bekerja lebih dari 160 jam per bulan untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup dasarnya.
ADVERTISEMENT
Menanggapi protes tersebut, Anggota Satgas Omnibus Law yang juga Ketua Himpunan Kawasan Industri (HKI), Sanny Iskandar, menjelaskan upah per jam sejatinya tidak diberlakukan untuk buruh-buruh pabrik. Upah per jam hanya ditujukan bagi profesi ahli tertentu.
"Itu mungkin hanya terkait dengan tenaga kerja yang punya profesi tertentu. Misalkan seperti konsultan hukum, atau profesi khusus gitu," ungkap Sanny.