Poin-poin RUU Omnibus Law Ketenagakerjaan yang Dikeluhkan Pekerja

18 Januari 2020 15:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Konferensi pers KSPI di LBH Jakarta, Sabtu (18/1). Foto: Abdul Latif/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Konferensi pers KSPI di LBH Jakarta, Sabtu (18/1). Foto: Abdul Latif/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak tegas pengesahan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang rencananya akan dilakukan pemerintah pada minggu-minggu ini.
ADVERTISEMENT
Ketua Harian KSPI Muhamad Rusdi menyampaikan poin-poin RUU Omnibus Law klaster Ketenagakerjaan yang dinilai merugikan buruh. Pertama, terkait soal hubungan status kerja yang semakin fleksibel.
Sebenarnya poin mengenai hubungan status kerja ini telah tertuang di Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Mereka pun juga menolak. Dalam UU ini status hubungan kerja bersifat outsourcing, kontrak dalam jangka waktu tertentu.
“Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 PKKT (Perjanjian Kerja Kontrak Tertentu). Kontrak saja menolak karena tidak ada kepastian dalam jangka waktu. Ini sikap kami pasti dengan tegas menolak,” tegasnya saat ditemui di Kantor LBH Jakarta, Sabtu (18/1).
Ilustrasi Buruh Perempuan. Foto: AFP
Poin kedua soal aturan upah minimum. Rusdi bilang, di dalam RUU ‘sapu jagat’ pengupahan pekerja akan berdasarkan jam kerja. Menurutnya, pengupahan berdasarkan jam kerja akan merugikan buruh pada saat ada kepentingan khusus seperti haji maupun pada saat sakit.
ADVERTISEMENT
"Nah ketika upah ini per jam bagaimana terhadap jaminan kesehatan, bagaimana menghitung jaminan hari tua, bagaimana ketika kami tidak bekerja bukan atas kemauan kami. Contoh sedang berangkat haji, istri melahirkan dan lain sebagainya atau mungkin sakit. Ini semakin tidak berpihak kepada pekerja itu sendiri," jelasnya.
Lalu ketiga soal penghapusan pesangon. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pekerja Indonesia (Aspek) Indonesia Sabda Pranawa Djati menyebutkan, dalam UU sapu jagat klaster ketenagakerjaan tidak memberikan pesangon pada buruh. Aturan ini dinilai lebih buruk dibanding UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.
“Pesangon akan dihilangkan ini yang harus dicermati bahwa mereka tidak menggunakan pesangon tapi menggunakan kompensasi,” tambahnya.