Potensi Minyak Jelantah RI Bisa Hemat Rp 4,2 T, untuk Biodiesel Pengganti Solar

8 Januari 2021 6:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi minyak goreng Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi minyak goreng Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Potensi minyak jelantah atau minyak goreng bekas pakai di Indonesia, mencapai 3 juta kiloliter per tahun. Dengan potensi sebesar itu, sebenarnya cukup memadai untuk diolah menjadi biodiesel sebagai bahan bakar pengganti solar.
ADVERTISEMENT
"Kalau bisa kita kelola minyak jelantah dengan baik, bisa memenuhi sebagian kebutuhan biodiesel nasional," kata Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna, dalam webinar bertema Peluang Minyak Jelantah Sebagai Alternatif Bahan Baku Biodiesel di Jakarta, Kamis (7/1).
Andriah mengingatkan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara pengguna minyak sawit yang cukup banyak. Pada 2019, penggunaan minyak goreng di Tanah Air mencapai 13 juta ton per tahun atau setara dengan 16,2 juta kiloliter per tahun. Sedangkan potensi minyak jelantah setiap tahunnya 3 juta kiloliter.
Padahal, lanjut Andriah, minyak jelantah atau Used Cooking Oil (UCO) memiliki berbagai kegunaan, terutama untuk biodiesel.
Selain itu, ujar dia, pengembangan biodiesel berbasis minyak jelantah memiliki peluang untuk dipasarkan baik di dalam negeri maupun untuk diekspor atau dipasarkan di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Dengan memanfaatkan minyak jelantah, biaya produksi pun bisa lebih hemat 35 persen, dibandingkan dengan biodiesel dari minyak nabati yang dihasilkan dari tanaman buah kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO).
"Tapi, ini harus dilihat lagi, karena kita lihat dari beberapa industri yang ada tidak bisa sustain. Ada hal-hal yang memengaruhi biaya operasionalnya," ungkap Andriah.
Pengisian bahan bakar Biodiesel B30 pada mobil truk di Kementerian ESDM. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Sementara itu VP Strategic Planing Refining & Petrochemical PT Kilang Pertamina Internasional, Prayitno, menyatakan bahwa untuk pemanfaatan minyak jelantah sebagai feedstock biorefinery masih ada hal yang harus dipikirkan.
"Untuk UCO yang menjadi salah satu PR-nya bagaimana kita mengumpulkan minyak jelantah untuk skala industri, termasuk logistik dan handling. Kita bisa benchmark dari perusahaan di luar (negeri), bagaimana mereka mengumpulkan minyak jelantah," jelas Prayitno.
ADVERTISEMENT
Sedangkan untuk CPO, masih menurut dia, perlu jaminan feedstock serta semacam kebijakan untuk memastikan kelangsungan secara bisnis bagi perusahaan yang melaksanakan kegiatan ini.
Apabila 1,2 juta kilo biodiesel dari kelapa sawit diganti dengan minyak jelantah yang dikumpulkan dari sektor rumah tangga, lanjutnya, maka bisa menghemat sekitar Rp 4,2 triliun.
Hasil pengepulan minyak jelantah Yogie untuk usahanya. Foto: Dok. Istimewa
Di sisi kesehatan, minyak jelantah juga menjadi ancaman bagi tingginya jumlah penyakit kronis layaknya jantung, kolesterol, stroke, hingga kanker. Minyak goreng sawit berbahaya bagi kesehatan jika digunakan kembali untuk memasak dalam bentuk jelantah karena proses pemanasan yang lama ataupun berulang akan menyebabkan oksidasi dan polimerisasi asam lemak yang menghasilkan radikal bebas senyawa peroksida yang bersifat toksis bagi sel tubuh.
Pemerintah sedang menggalakkan program Bahan Bakar Nabati (BBN) melalui produksi biodiesel untuk mewujudkan ketahanan energi masa depan. Bahan baku pembuatan biodiesel berasal dari minyak sawit (CPO) yang dapat menghasilkan bahan bakar pengganti solar.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, limbah minyak jelantah yang melimpah dapat dimanfaatkan menjadi berkah untuk mendukung program pemerintah sebagai alternatif bahan baku biodiesel. Berdasarkan data ICCT dari total produksi minyak jelantah 2018, mampu berkontribusi terhadap 35 persen produksi biodiesel nasional.