Progres Smelter Baru 5,86 Persen, Freeport Dapat Teguran dari Kementerian ESDM

23 November 2020 15:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presdir PT Freeport Indonesia, Tony Wenas, meninjau lokasi di Gresik tempat pembangunan proyek smelter milik PTFI. Foto: Wendiyanto Saputro/ kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Presdir PT Freeport Indonesia, Tony Wenas, meninjau lokasi di Gresik tempat pembangunan proyek smelter milik PTFI. Foto: Wendiyanto Saputro/ kumparan
ADVERTISEMENT
Kementerian ESDM memberikan Surat Teguran nomor 1.197/36/DJB/2020 kepada PT Freeport Indonesia (PTFI). Teguran itu dikirimkan pada 30 September 2020 karena terlambatnya konstruksi pembangunan fasilitas pemurnian mineral atau smelter PTFI.
ADVERTISEMENT
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan, sejauh ini progres pembangunan smelter Freeport baru 5,86 persen. Padahal ditargetkan sudah bisa beroperasi tahun 2023.
“Progres pembangunan smelter tembaga PTFI sampai saat ini adalah mencapai 5,86 persen dan direncanakan beroperasi pada 2023 dengan kapasitas 2 juta ton konsentrat tembaga per tahun,” kata Arifin saat rapat dengan Komisi VII DPR yang disiarkan secara virtual, Senin (23/11).
Arifin mengatakan, PTFI langsung merespons surat yang dikirimkan oleh Kementerian ESDM melalui surat nomor 508/OPD-PTFI/IX/2020 tanggal 30 September 2020 yang menyampaikan bahwa pilling test dan pile load test akan mengalami keterlambatan.
Pematangan lahan yang akan jadi lokasi smelter PT Freeport Indonesia di Gresik. Foto: Dok. PT Freeport Indonesia
Semula kegiatan tersebut direncanakan pada akhir bulan September 2020. Namun, baru dapat dilakukan pada awal November 2020.
“Tanggal 11 November PTFI telah menyampaikan tanggapan atas teguran tersebut bahwa PTFI telah memberikan notice to proceed ke Chiyoda untuk melakukan pekerjaan tes pilling. Chiyoda telah mulai melakukan pengadaan dan mobilisasi peralatan serta pekerjaan ke Gresik,” ujar Arifin.
ADVERTISEMENT
“Kegiatan fisik test pile drive di area prioritas pembangunan smelter baru dapat dilakukan pada akhir November 2020,” tambahnya.
Arifin menjelaskan bahwa kondisi tersebut juga disebabkan kendala yang sebelumnya dihadapi yaitu adanya pandemi COVID-19. Sebab, kata Arifin, pandemi pembuat tertundanya pengiriman peralatan dan kedatangan tenaga ahli dari luar negeri.
Penerapan PSBB juga menghambat mobilisasi tenaga kerja dan logistik. Selain itu, kesepakatan pendanaan juga terpaksa harus ditunda akibat pandemi COVID-19.
Lahan di kawasan industri JIIPE di Gresik, bakal lokasi smelter PT Freeport Indonesia. Foto: Dok. PT Freeport Indonesia
Meski begitu, Arifin menuturkan perusahaan tetap melakukan upaya pembangunan seperti melakukan pertemuan dengan pengembang smelter. Selain itu ada one on one meeting dengan PLN dan berbagai upaya lainnya seperti market sounding.
“Penyusunan info memo perusahaan pembangun smelter untuk nantinya ditawarkan kepada para calon investor dan calon pendana. One on One meeting dan kerjasama dengan MKU Services LLC di Houston, Amerika Serikat dalam rangka market sounding untuk mencari investor,” tutur Arifin.
ADVERTISEMENT
“Koordinasi dengan Kemenko Perekonomian dalam mendorong terbangunnya smelter dengan memasukkan kedalam Proyek Strategis Nasional, sehingga kendala-kendala yang dihadapi terutama dari sisi administrasi bisa dengan cepat terselesaikan,” tambahnya.
Sebelumnya diberitakan, CEO and Vice Chairman of Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc (FCX), Richard C Adkerson, mengaku berharap agar proyek smelter di Gresik, Jawa Timur, dibatalkan.
Richard menilai, pembangunan smelter hanya akan menguras biaya dan tak cukup ekonomis. Langkah tersebut tidak menguntungkan terlebih lagi dalam situasi merebaknya pandemi COVID-19.
Atas dasar itu, ia membuka opsi agar Freeport bisa terus mengekspor konsentrat tembaga, tak perlu membangun smelter baru. Langkah ini dinilai juga menguntungkan pemerintah Indonesia karena ada pendapatan negara dari Bea Keluar (BK) konsentrat tembaga.
ADVERTISEMENT
"Saya menyampaikan PTFI, dipimpin Kementerian BUMN dalam pembahasan internal dengan pemerintah, akan terlibat dalam pembayaran biaya ekspor untuk itu. Manfaatnya, kita tidak perlu membangun proyek konstruksi baru yang besar, dan manfaat finansialnya juga sangat positif bagi pemerintah," jelas Richard.