PT Bukit Asam Harap Subsidi LPG Bisa Dialihkan ke DME Gasifikasi Batu Bara

7 Desember 2020 18:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Koki menunjukan tabung gas campuran elpiji dengan DME pada pencanangan pembangunan pabrik hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) di tambang Peranap PT Bukit Asam di Kabupaten Inhu, Riau. Foto: Antara/M Agung Rajasa
zoom-in-whitePerbesar
Koki menunjukan tabung gas campuran elpiji dengan DME pada pencanangan pembangunan pabrik hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) di tambang Peranap PT Bukit Asam di Kabupaten Inhu, Riau. Foto: Antara/M Agung Rajasa
ADVERTISEMENT
PT Bukit Asam Tbk (Persero) atau PTBA menjadi salah satu dari tiga pihak yang akan membangun proyek gasifikasi batu bara yang menghasilkan Dimethyl Ether (DME). PTBA berharap pemerintah bisa memberikan subsidi untuk DME yang menjadi subtitusi LPG.
ADVERTISEMENT
Selama ini LPG yang mayoritas diimpor PT Pertamina (Persero), penyaluran pada produk 3 kilogramnya disubsidi pemerintah untuk warga miskin. Karena DME menjadi substitusi LPG, dia berharap pemerintah juga bisa memberikan subsidi pada produk ini nantinya.
"Dua-duanya mungkin akan perlu subsidi dari negara. Makanya kita perlu payung hukum untuk bisa membolehkan pengalihan subsidi dari LPG ke DME," kata dia dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI, Jakarta, Senin (7/12).
Proyek gasifikasi batu bara yang menghasilkan DME ini rencananya akan ditandatangani bulan ini antara PTBA sebagai penyuplai batu bara dengan PT Pertamina (Persero) dan perusahaan asal Amerika Serikat, AirProduct. Investasinya sebesar USD 2,1 miliar yang akan ditanggung sepenuhnya untuk biaya konstruksi oleh AirProduct.
ADVERTISEMENT
Dia mengatakan, berdasarkan kajian yang dilakukan PTBA bersama Kementerian ESDM dan sejumlah pihak, proyek ini bisa menghemat biaya subsidi LPG per tahunnya. Berdasarkan hitungan dalam kajian, impor LPG sepanjang 2019 rata-rata USD 568 per ton. Sedangkan selama 10 tahun terakhir rata-rata USD 690 per ton.
"Kalau DME harganya USD 420 per ton dan kita masih berusaha lakukan efisiensi (ditekan agar bisa lebih murah lagi)," ujarnya.
Arviyan mengatakan, batu bara yang akan digunakan dalam gasifikasi ini merupakan kalori rendah yang selama ini kurang laku di pasar spot. Menurut kajian, perkiraan kebutuhan batu bara untuk proyek DME ini 6 juta ton untuk produksi setara 1 juta LPG atau 120 juta ton selama 20 tahun kontrak.
ADVERTISEMENT
Dia menyebut PTBA memiliki total cadangan batu bara 3 miliar ton. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2 miliar tonnya merupakan batu bara kalori rendah. Sedangkan 1 miliar ton sisanya bisa diekspor dan menjadi devisa negara.
Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk (PTBA), Arviyan Arifin. Foto: Resya Firmansyah/kumparan

PTBA dan Pertamina Bisa Miliki 40 Persen Saham

Biaya konstruksi pembangunan proyek yang dibangun di Sumatera Selatan ini akan ditanggung sepenuhnya oleh AirProduct. Rencananya pembangunan akan dimulai tahun depan hingga pertengahan 2024.
Meski perusahaan dari Amerika Serikat yang menanggung sepenuh biaya konstruksi, dia mengatakan PTBA dan Pertamina bisa memiliki porsi saham di sana setelah 1 tahun pabrik beroperasi (commercial operation date/COD) atau pada 2025.
"Pertamina dan PTBA punya opsi memiliki saham setelah proyek ini COD dan menghasilkan DME terbukti 1 tahun. Dalam waktu 1 tahun setelah COD, punya opsi saham 40 persen yang porsi saham dibeli sesuai dengan investasi awal," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, proyek gasifikasi batu bara untuk menghasilkan DME ini layak dijalankan sebab dia menjamin keekonomiannya bisa terjaga karena ada teknologi yang sudah berhasil mengembangkan proyek ini. Salah satunya di China yang sukses mengubah 400 juta ton per tahun batu bara menjadi DME.
"Kalau buat pemerintah ini kan variable subsidi saja, kalau LPG mungkin (harganya) naik turun, tapi DME mungkin akan fix (besarannya subsidi). Kita tentu akan berusaha se-efisien mungkin," ujarnya.
Sebelumnya, Komisaris Utama Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menilai proyek ini kurang ekonomis. Menurut dia, DME lebih mahal dari LPG sehingga butuh subsidi agar harganya terjangkau masyarakat. Ini bisa menjadi beban negara di kemudian hari, sebab subsidi yang dibutuhkan lebih besar dari subsidi LPG.
ADVERTISEMENT
"DME sebagai substitusi LPG menarik, tetapi mungkin memerlukan subsidi karena DME lebih mahal daripada LPG. Juga memiliki offtake jangka panjang," kata dia dalam diskusi panel di International Oil and Gas Convention 2020, Rabu (2/12).