PTPN Usul ke Pemerintah 2 Juta Ha Lahan Sawit Diubah Jadi Tebu untuk Bioetanol

26 Oktober 2023 14:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara, Mohammad Abdul Ghani. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara, Mohammad Abdul Ghani. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Direktur Utama PT PTPN III (Persero) atau Holding Perkebunan, Mohammad Abdul Gani, menyarankan agar 2 juta lahan perkebunan kelapa sawit dikonversi menjadi perkebunan tebu untuk memperkuat rantai pasok bioetanol.
ADVERTISEMENT
Gani menuturkan, Indonesia memiliki lahan kelapa sawit 16 juta hektar dengan rata-rata produksi 3 ton per hektar. Sementara jika dikonversi menjadi biodiesel hanya menghasilkan 2,5 kiloliter alias 2.500 liter per hektar.
Berbeda dengan lahan tebu untuk kebutuhan etanol, di mana per 1 hektar bisa menghasilkan 4.000-5.000 liter etanol, sehingga kemampuan tanah menghasilkan etanol bisa dua kali lipat lebih besar dari biodiesel.
Dengan begitu, menurut Gani, sebaiknya pemerintah menetapkan peta jalan energi baru dan terbarukan (EBT) salah satunya menggeser penggunaan biodiesel ke bioetanol yang lebih efisien.
"Usulan saya ke pemerintah, luas area kelapa sawit yang 16 juta ton itu sebenarnya menurut saya kebanyakan dari national interest, mungkin cukup 14 juta aja, tapi yang perlu dibangun adalah bagaimana meningkatkan produktivitas," ujarnya saat Ngopi BUMN, Kamis (26/10).
Pekerja memetik daun teh kualitas ekspor di areal perkebunan teh Kaligua PTPN IX, Desa Pandansari, Kecamatan Paguyangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Jumat (17/2/2023). Foto: Aji Styawan/Antara Foto
Gani memaparkan, produktivitas PTPN untuk minyak kelapa sawit adalah 5,1 ton per hektar, namun rata-rata nasional hanya 3 ton, sehingga pemerintah perlu berupaya melakukan peremajaan sawit rakyat yang
ADVERTISEMENT
"Sebaliknya, kalau lahan sawit diambil 2 juta hektar untuk menanam tebu, kalau ada lahan baru apakah lahan konversi dari sawit atau dari karet rakyat yang kurang menguntungkan 2 juta hektar saja, itu bisa menghasilkan 10 juta kiloliter," jelas dia.
Sementara itu, dia menyebutkan kebutuhan BBM gasoline alias bensin PT Pertamina (Persero) mencapai 35 juta kiloliter per tahun, sehingga konversi lahan sawit tersebut bisa memenuhi campuran sebesar 30 persen alias E30.
"Kalau ada 10 juta kiloliter berarti sudah 30 persen, E30, di Brazil saja baru E27," tambah Gani.
Sebelumnya, Kementerian ESDM mengakui produk baru PT Pertamina (Persero), Pertamax Green 95, yang merupakan campuran Pertamax dengan etanol 5 persen (E5), hingga kini belum bisa diproduksi massal.
ADVERTISEMENT
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Tutuka Ariadji menuturkan rantai pasok etanol yang berasal dari molase tebu masih sangat terbatas, berbeda dengan biodiesel yang berasal dari minyak kelapa sawit.
"Untuk bisa menjadi skala massal itu perlu rantai pasok yang panjang. Jadi sekarang tahapannya masih dalam skala-skala yang tidak besar, tapi sudah bisa dilakukan," ungkapnya saat acara Menelisik Prospek Energi 2024, Jakarta, Rabu (25/10).
Soal rantai pasok tebu ini, Tutuka menilai butuh koordinasi antar kementerian untuk meminimalisasi dampak seperti ketersediaan lahan dan efeknya kepada komoditas pangan lainnya.
Dia juga mengakui, perluasan distribusi Pertamax Green 95 ke daerah lain, terutama di seluruh Pulau Jawa, masih sulit dilakukan. Selain terkait bahan baku, juga imbas minimnya permintaan dari masyarakat.
ADVERTISEMENT
Adapun Pertamina menargetkan permintaan produk Pertamax Green 95 mencapai 90 ribu kiloliter per tahun di seluruh Pulau Jawa. Namun saat ini, distribusi produk tersebut baru di 15 SPBU di Jakarta dan Surabaya.
Saat ini, etanol yang diproduksi di dalam negeri mencapai 30 ribu kiloliter per tahun. Sementara pasokan yang diperlukan untuk campuran Pertamax Green 95 hanya 12 ribu kiloliter, sehingga masih ada lebih dari 50 persen pasokan etanol yang bisa dimanfaatkan Pertamina, bekerja sama dengan PT Energi Agro Nusantara (Enero), anak usaha PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X.