Ramai-ramai Memprotes Kenaikan Cukai Rokok

27 Oktober 2019 12:28 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Rokok. Foto: Antara/Yusran Uccang
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Rokok. Foto: Antara/Yusran Uccang
ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi menaikkan tarif cukai rokok per 1 Januari 2020. Nantinya, cukai rokok dinaikkan rata-rata sebesar 23 persen.
ADVERTISEMENT
Kenaikan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152 Tahun 2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau yang diteken pada 18 Oktober 2019. Tujuannya untuk menekan jumlah perokok di Indonesia.
Laporan Asia Tobacco Control Alliance (Seatca) berjudul The Tobacco Control Atlas, ASEAN Region (2019) Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbesar di ASEAN yaitu 65,19 juta perokok.
Meski demikian, kenaikan cukai rokok tak langsung saja melenggang tanpa kontra. Sebab, ada berbagai pihak yang menilai kenaikan cukai rokok bakal kontrapoduktif hingga bisa memunculkan ancaman lainnya. Berikut kumparan merangkumnya:
1. Kenaikan Cukai Rokok Dinilai Tak Efektif Turunkan Perokok
Ketua Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo mengatakan, kenaikan cukai rokok tahun depan tidak serta merta menurunkan jumlah perokok di Indonesia. Sebab, perilaku konsumen Indonesia cenderung ketergantungan dengan rokok.
ADVERTISEMENT
“Cukai naik belum tentu tekan rokok. Toko elastis cari rokok lebih murah nanti ke kekhawatiran maraknya rokok ilegal,” katanya kepada kumparan, Jumat (25/10).
Ilustrasi area bebas rokok Foto: Unsplash
Menurut Budidoyo, jika memang pemerintah menginginkan penurunan perokok, ada cara yang lebih baik. Salah satunya yaitu dengan memberikan fasilitas kawasan perokok dan non-perokok.
"Lebih pada mengedukasi, misalnya ada kawasan rokok beli lah kawasan khusus merokok," imbuhnya.
2. Cukai Rokok Naik, Petani Tembakau Menjerit
Dampak yang paling dikhawatirkan dari kenaikan cukai ialah nasib para petani yang menggantungkan hidup dari tembakau sebagai bahan baku rokok. Berbagai protes dari kalangan petani tembakau pun muncul.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Agus Parmuji menilai, kenaikan cukai rokok tersebut terlalu tinggi dan membebani para petani tembakau.
ADVERTISEMENT
"Kami keberatan. Kenaikan cukai yang terlalu tinggi ini berdampak langsung pada keberlangsungan dan kesejahteraan petani tembakau kami," ujar Agus kepada kumparan, Sabtu (26/10).
Sekretaris APTI Agus Setiawan pun menjelaskan, saat ini tembakau hanya bisa ditampung oleh pabrikan rokok. Sementara pemerintah tidak memiliki teknologi apapun yang mampu membeli tembakau petani. Dengan demikian, kenaikan cukai rokok pada awal Januari 2020 tersebut membuat petani tembakau terkena ‘tsunami.’
"Silakan ada kenaikan, asal terjangkau oleh masyarakat Indonesia. Jangan dibandingkan dengan negara-negara luar yang pendapatannya lebih dibandingkan masyarakat Indonesia," tegasnya.
Petani tembakau di Pamekasan, Jawa Timur. Foto: Antara/Saiful Bahri
Menurut Agus, pada akhirnya petani tembakau yang akan menjadi korban pertama. Oleh karena itu, petani tembakau meminta agar pemerintah bisa meninjau ulang PMK 152 Tahun 2019.
ADVERTISEMENT
“Kami merasa terbebani dengan kenaikan cukai rokok itu. Kami juga memohon agar Presiden Jokowi melalui Ibu Sri Mulyani bisa meninjau ulang PMK itu,” tambahnya.
3. Ancaman PHK bagi Pekerja Pabrik Rokok
Tak hanya petani, pihak lain yang terancam atas kenaikan cukai rokok ini adalah para pekerja di pabrik rokok yang terancam PHK.
Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Williem Petrus Riwu, mengaku kaget soal kebijakan tersebut. Menurut dia kenaikannya terlalu tinggi.
"Menurut kami inflasi sekitar 3,6 persen. Lalu HJE (Harga Jual Eceran) naik 35 (persen). Berarti kami sudah sumbang inflasi saja berapa? Pasti kami akan ditinggal, harga naiknya 10 kali lipat dari kenaikan secara umum," katanya saat ditemui di Kantor Pusat Bea dan Cukai, Jakarta, Jumat (25/10).
ADVERTISEMENT
Menurut Williem, akan terjadi penurunan daya beli masyarakat. Dia meminta pemerintah tidak hanya membebankan pada cukai rokok, sebab ada banyak pekerja yang terlibat di dalamnya.
"Kami masih berharap badan kebijakan fiskal mampu mencari barang kena cukai lain. Jangan cuma ini aja terus, cobalah negara lain lebih banyak lagi supaya target penerimaan cukai yang besar di APBN itu tidak dibebankan hanya kepada rokok dan minuman alkohol," ujarnya.
Pegawai pabrik rokok melakukan produksi manual. Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Ketua Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Budidoyo, menilai regulasi baru cukai rokok tahun depan akan memberatkan pelaku usaha tembakau baik dari hulu sampai hilir. Ia mengatakan akan terjadi pemutusan hubungan kerja.
"Imbasnya yang paling rentan adalah pemutusan hubungan kerja karyawan. Imbas produksi turun terjadi multiplier effect," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Data Kementerian Perindustrian menyebut jumlah pabrik rokok turun sekitar 80,83 persen dari 2.540 pabrik pada 2011 menjadi tinggal 487 pabrik pada 2017. Penurunan operasi pabrik tersebut mengakibatkan lapangan kerja berkurang.