Rencana Jokowi Bangun 434 Ribu Megawatt Dinilai Bakal Mahal dan Berjalan Pelan

15 November 2022 17:27 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
MIND ID Wujudkan Kemandirian Untuk Ekosistem EBT. Foto: Dok. MIND ID
zoom-in-whitePerbesar
MIND ID Wujudkan Kemandirian Untuk Ekosistem EBT. Foto: Dok. MIND ID
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi menyampaikan komitmen Indonesia untuk menggarap potensi energi baru dan terbarukan (EBT) di penutupan B20 Summit. Presiden menuturkan EBT merupakan pintu masuk investor datang ke Indonesia. Terlebih dengan besarnya potensi EBT di Tanah Air.
ADVERTISEMENT
“Saya sudah sering sampaikan bahwa energi baru terbarukan, renewable energy di Indonesia itu sangat besar. Ada potensi 434 ribu megawatt,” katanya di Nusa Dua, Bali, Senin (14/11).
Merespons pada pernyataan ini, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawanmengatakan bahwa potensi EBT memang besar di Indonesia, terutama karena sumber daya alam Indonesia yang melimpah. Namun, untuk transisi sepenuhnya masih sangat sulit, karena pengelolaan EBT masih belum terjangkau harganya.
“EBT kita itu masih kecil, 12 persen. Masih sangat jauh kalau pemerintah ingin raih 30 persen di 2030. Masalahnya terletak pada harga, karena sampai sejauh ini harga fosil jauh lebih kompetitif dibanding EBT,” kata Mamit dalam wawancara dengan kumparan, Selasa (15/11).
Ia memproyeksikan transisi energi secara nasional akan sangat pelan, namun pasti terjadi. Hal ini disebabkan negara-negara lain yang juga sudah mengarah untuk transisi dan mulai mengembangkan teknologi pengolah EBT, sehingga Indonesia nantinya akan ikut arus tersebut.
ADVERTISEMENT
“Memang EBT itu demand pasti akan naik karena sustain, clean, cuma sekarang masih mahal karena teknologinya belum banyak. Tapi dengan dikembangkannya teknologi dari dalam maupun luar negeri, pasti akan lebih murah dan terjangkau.
Mamit menyebutkan bahwa sektor EBT yang berpotensi paling berkembang adalah sektor tenaga surya, karena sudah banyak perusahaan swasta yang menggunakan. Masalahnya, diperlukan tempat penyimpanan energi yang besar agar energi tenaga surya tidak bisa disimpan.
Petugas melakukan perawatan sistem usai peresmian Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Waduk Muara Nusa Dua di Kabupaten Badung, Bali, Jumat (11/11/2022). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
“Masalah intermittency belum terjawab. Tenaga surya ya kita bisa pakai sampai sore saja, tidak kontinu sifatnya. Selama itu belum dipecahkan, masih belum bisa masif perkembangannya. EBT lain seperti hydropower dan geothermal juga kita belum maksimal pengolahannya, meski sumber dimana-mana,” ujarnya.
Mamit mengatakan meskipun target 30 persen energi nasional akan bersifat baru terbarukan pada 2030 tidak realistis, menjadikan Indonesia sebagai negara tanpa emisi karbon pada 2060 masih memungkinkan. Hal ini dengan catatan Indonesia menjaga semangat mendorong transisi seperti yang ditunjukkan pada masa presidensi G20 ini.
ADVERTISEMENT
“(2060) masih bisa net-zero emission, asalkan dipersiapkan semuanya. Payung hukum, infrastruktur, sampai dukungan masyarakat. Karena masih jauh tahunnya, pemerintah juga harus mulai rancang kebijakan EBT yang tegas,” tutupnya.