Rencana Penyederhanaan Tarif Cukai Rokok Masih Ditolak Industri

2 September 2020 11:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas bea Cukai menunjukan barang bukti berupa rokok elektrik tanpa pita cukai. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Petugas bea Cukai menunjukan barang bukti berupa rokok elektrik tanpa pita cukai. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah memastikan akan menaikkan tarif cukai rokok pada tahun depan. Besaran tarifnya akan diumumkan paling cepat akhir bulan ini.
ADVERTISEMENT
Selain kenaikan tarif, pemerintah sebenarnya juga telah merencanakan penyederhanaan struktur tarif cukai rokok, dari saat ini sepuluh layer hingga 2024 menjadi hanya tiga atau lima layer.
Hal itu tertuang dalam Perpres 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024. Beleid ini juga telah menjadi bagian dari rencana strategis ke depan yang tercantum pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 77 Tahun 2020.
Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Willem Petrus Riwu, menolak rencana tersebut. Para pelaku industri rokok ini sepakat jika struktur tarif cukai hasil tembakau dipertahankan seperti saat ini, sebanyak 10 layer.
“Hal ini disebabkan struktur tarif cukai saat ini mampu mempertahankan serapan tenaga kerja, volume produksi, serapan bahan baku lokal, termasuk menekan peredaran rokok ilegal,” jelas Willem saat dihubungi kumparan, Rabu (2/9).
Pegawai pabrik rokok melakukan produksi manual. Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Sementara itu, Partner Research and Training Services DDTC, Bawono Kristiaji, menuturkan bahwa sistem yang ada saat ini cukup rumit dan masih perlu diperhatikan pengawasannya.
ADVERTISEMENT
Menurut Bawono, lapisan tarif cukai hasil tembakau masih perlu disederhanakan. Meskipun layer cukai rokok sebenarnya telah dipangkas dari 19 layer di 2010 menjadi saat ini sepuluh layer.
"Simplifikasi tarif cukai hasil tembakau akan memberikan level playing field antarkarakteristik industri hasil tembakau. Jadi antara karakteristik, pangsa pasar, dan kemampuan ekonomis head to head, supaya tidak terlalu banyak pihak yang memanfaatkan lapisan-lapisan tersebut," kata Bawono.
Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Wawan Juswanto, menjelaskan bahwa kebijakan cukai hasil tembakau tidak bisa dilepaskan dari tiga pilar, yakni pengendalian konsumsi, penerimaan negara, serta industri atau sektor ketenagakerjaan.
Dia menegaskan, dalam membuat kebijakan mengenai cukai rokok, pemerintah akan tetap memperhatikan sektor padat karya. Termasuk saat membuat PMK 77 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kemenkeu 2020 - 2024.
ADVERTISEMENT
“Kita setuju bersama ingin mendorong yang padat karya. Jadi kita memberikan prioritas yang padat karya dalam struktur tarif cukai,” katanya.
Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu Heru Pambudi juga masih enggan menjelaskan lebih lanjut mengenai struktur tarif cukai yang mendapat penolakan dari industri. Namun sebelumnya, dia hanya memastikan adanya kenaikan tarif cukai rokok di 2021.
Di tahun depan, penerimaan cukai rokok ditargetkan menjadi Rp 172,8 triliun, naik 4,8 persen dari target tahun ini sebesar Rp 164,9 triliun. Kenaikan target ini salah satunya akan didorong oleh kenaikan tarif cukai rokok.
“Pertanyaannya, kapan itu tarif diumumkan? Kalau secara historis biasanya kita Kemenkeu umumkan akhir September atau awal Oktober, dan akan konsisten dengan sebelum-sebelumnya," kata Heru saat konferensi pers APBN KiTa secara virtual, Selasa (25/8).
ADVERTISEMENT
Adapun hingga Juli 2020, penerimaan cukai mencapai Rp 88,4 triliun atau tumbuh 7 persen (yoy). Dari penerimaan tersebut, cukai rokok menyumbang paling besar yakni Rp 85,5 triliun atau tumbuh 8,09 persen (yoy), salah satunya karena adanya kenaikan tarif cukai rokok rata-rata sebesar 23 persen sejak Januari 2020.