Respons Perpres Publisher Rights RI, Meta Yakin Tak Harus Bayar Konten Berita

23 Februari 2024 8:23 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Logo Meta, rebranding perusahaan Facebook. Foto: Dado Ruvic/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Logo Meta, rebranding perusahaan Facebook. Foto: Dado Ruvic/Reuters
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Platform induk Facebook, Meta, buka suara terkait beleid publisher rights yang baru diterbitkan Indonesia. Mereka menyatakan tidak menyetujui aturan tersebut.
ADVERTISEMENT
Mengutip Reuters, perusahaan raksasa teknologi dunia milik Mark Zuckerberg itu menyebutkan pihaknya tidak perlu membayar penerbit berita untuk konten yang diposting secara sukarela ke platform Meta.
“Setelah melalui beberapa putaran konsultasi dengan pemerintah, kami memahami bahwa Meta tidak akan diharuskan membayar konten berita yang diterbitkan secara sukarela oleh penerbit ke platform kami,” kata Direktur Kebijakan Publik Meta untuk Asia Tenggara Rafael Frankel dikutip dari Reuters pada Jumat (23/2).
Sebelumnya, Presiden Jokowi resmi mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) Publisher Rights atau rancangan aturan mewajibkan platform digital untuk memberi nilai ekonomi pada konten berita dari media lokal dan nasional.
Dengan adanya regulasi ini, media massa akan memperoleh semacam royalti atas konten yang dipublikasi dan dibagikan secara luas di platform digital seperti medsos, search engine, dan news aggregator.
ADVERTISEMENT
Sehingga media dapat menuntut perusahaan internet yang menggunakan konten mereka untuk bagi hasil keuntungan.
Saat ini, beberapa negara sudah memiliki Undang-Undang Berita Online sendiri. Terbaru, Kanada telah bersepakat dengan Google untuk menerapkan aturan Publisher Rights yang disebut Bill C-18. Google bersedia menaati aturan Bill C-18 dan mau membayar media lokal yang konten beritanya terbit di platform-nya.
Selain Kanada, Eropa juga memiliki Undang-Undang Berita Online yang disebut Neighbouring Rights, sementara Australia News Media Bargaining Code.
Reuters menyebut, pemerintah di seluruh dunia telah lama mengkhawatirkan apa yang mereka lihat sebagai ketidakseimbangan kekuatan antara platform digital dan penerbit berita serta konten lainnya.