Riset: Pandemi Bikin Kebahagiaan Warga Turun karena Pendapatan Berkurang

21 Juli 2020 10:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
riset: kebahagiaan pernikahan dipengaruhi faktor genetika Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
riset: kebahagiaan pernikahan dipengaruhi faktor genetika Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Produk Domestik Bruto (PDB), ukuran kemakmuran suatu negara, mendapat kritikan dalam beberapa tahun terakhir. Nilai pengeluaran masyarakat dari barang, jasa, dan investasi dinilai lebih banyak lari ke sektor digital, seperti Google dan Facebook.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, PDB juga dinilai mengabaikan aspek lainnya, seperti kesehatan, waktu luang, dan kebahagiaan.
Perusahaan konsultasi asal Amerika Serikat, Gallup, membuat riset berdasarkan survei pada 145 negara mengenai aspek kesejahteraan dan PDB. Negara-negara itu di antaranya Singapura, China, Brasil, AS, hingga Finlandia.
Dilansir The Economist, Selasa (21/7), pertanyaan yang diajukan itu antara lain mengenai apakah memiliki cukup uang untuk membeli makanan selama setahun, memiliki teman, korupsi, keamanan saat bepergian malam sendiri, hingga rumah yang nyaman.
Hasilnya, hampir semua penduduk di 10 persen negara dengan ekonomi teratas mengatakan mereka memiliki cukup uang untuk membeli makanan. Sementara itu, hanya dua per lima penduduk di 10 persen negara dengan ekonomi terbawah yang mampu membeli makanan selama setahun.
Dokter Jan Claire Dorado merawat pasien yang terinfeksi virus corona di East Avenue Medical Center, di Quezon City, Metro Manila, Filipina. Foto: Eloisa Lopez/REUTERS
Berdasarkan aspek non-finansial, tujuh dari sepuluh penduduk di 10 persen negara teratas merasa didukung oleh keluarga mereka, aman di lingkungan, dan percaya pda politisi mereka. Sementara di negara 10 persen terbawah, hanya empat dari sepuluh penduduk mereka yang merasakan hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun penduduk di negara teratas dan terbawah itu memiliki hal yang sama, yakni kurangnya istirahat dan sulitnya mendapat perumahan dengan harga terjangkau.
Beberapa orang tak setuju bahwa kekayaan berkorelasi terhadap kebahagiaan dan kepuasan. Beberapa penduduk bahkan tetap murung ketika PDB meningkat, teori yang ditulis oleh Richard Easterlin, seorang ekonom AS.
Meski begitu, ada salah satu cara untuk menguji apakah uang dapat membeli kebahagiaan. Yakni dengan menganalisis apa yang terjadi ketika uang tersebut hilang.
Studi tentang resesi global sebelumnya pada tahun 2009 menunjukkan bahwa kesulitan ekonomi memang mengarah pada kesengsaraan secara emosional. Hasilnya, kepuasan hidup dan ukuran kesejahteraan mengalami penurunan di AS dan beberapa negara Eropa, meskipun penyebabnya masih terbatas akibat kehilangan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Adam Mayer dari Colorado State University menemukan bahwa orang Eropa yang menganggur akan berjuang untuk membeli makanan pokok dan memiliki pandangan mengenai kehidupan yang buruk.
Pandemi COVID-19 membuat para ekonom menyelidiki pola tersebut. Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksi perekonomian global minus 4,9 persen tahun ini. Guncangan hebat akibat pandemi ini dinilai memiliki efek jangka panjang.
Ekonomi nantinya diproyeksi akan tumbuh lebih besar dari sebelum pandemi, tapi akan menjadi kurang kaya dari pada sebelumnya. Sebab, pandemi ini menyebabkan hilangnya nyawa manusia dan uang.
“Korelasi antara GDP per orang dan ukuran kesejahteraan Gallup, itu mungkin berdampak abadi pada kualitas hidup dunia juga,” tulis The Economist.