Rizal Ramli Hingga KPK Ingatkan Jokowi Iuran BPJS Tak Perlu Naik

18 Mei 2020 8:15 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kantor pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kantor pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi resmi menaikkan iuran BPJS Kesehatan mulai 1 Juli 2020. Hal itu dinyatakan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tertanggal 6 Mei 2020.
ADVERTISEMENT
Dengan kenaikan iuran itu, peserta Kelas I yang sebelumnya membayar Rp 80.000 naik jadi Rp 150.000; Kelas II dari Rp 51.000 jadi Rp 100.000; Dan Kelas III dari Rp 25.500 jadi Rp 42.000. Walaupun untuk peserta Kelas III, pemerintah masih mensubsidi sebagian.
Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli menilai, iuran BPJS Kesehatan sebenarnya tak perlu naik. Kalau pun ada defisit pembiayaan, menurutnya ada pilihan mudah yang bisa dilakukan Presiden Jokowi.
"Pak @jokowi sebetulnya punya pilihan mudah: Batalkan program Kartu Prakerja Rp 20 Triliun. Termasuk setoran abal-abal dan KKN provider online (Rp5,6 Trilliun). Gunakan untuk menyelesaikan masalah BPJS Kesehatan, sehingga tarif tidak perlu naik. Gitu aja ribet, yang penting ada hati untuk rakyat!" tulis Rizal melalui akun Twitternya.
ADVERTISEMENT

KPK Minta Kenaikan Iuran BPJS Ditinjau Ulang

Senada, KPK juga meminta pemerintah untuk meninjau ulang keputusan menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Sebab, dalam Kajian Tata Kelola Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan yang KPK lakukan pada 2019, ditemukan bahwa akar masalah dalam BPJS Kesehatan adalah tata kelola.
KPK menemukan permasalahan terdapat pada tata kelola yang cenderung inefisien dan tidak tepat. Sehingga mengakibatkan defisit BPJS Kesehatan. Menaikkan iuran untuk menutupi defisit anggaran BPJS Kesehatan dinilai tidak tepat.
"Akar masalah defisit BPJS disebabkan karena permasalahan inefisiensi dan penyimpangan (fraud), sehingga kenaikan iuran BPJS tanpa ada perbaikan tata kelola BPJS tidak akan menyelesaikan masalah," kata Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (15/5).
Komisioner KPK Nurul Ghufron memberikan keterangan pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (5/3). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Ghufron menyebut kenaikan iuran BPJS Kesehatan justru akan memupus tercapainya tujuan jaminan sosial sebagaimana UU Nomor 40 tahun 2004 bahwa jaminan sosial adalah bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
ADVERTISEMENT
Terdapat enam rekomendasi KPK terkait perbaikan tata kelola BPJS Kesehatan, yakni:
1. Pemerintah c.q Kementerian Kesehatan agar menyelesaikan Pedoman Nasional Praktik Kedokteran (PNPK).
2. Melakukan penertiban kelas Rumah Sakit.
3. Mengimplementasikan kebijakan urun biaya (co-payment) untuk peserta mandiri sebagaimana diatur dalam Permenkes 51 tahun 2018 tentang Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan.
4. Menerapkan kebijakan pembatasan manfaat untuk klaim atas penyakit katastropik sebagai bagian dari upaya pencegahan.
5. Mengakselerasi implementasi kebijakan coordination of benefit (COB) dengan asuransi kesehatan swasta
6. Terkait tunggakan iuran dari peserta mandiri, KPK merekomendasikan agar pemerintah mengaitkan kewajiban membayar iuran BPJS Kesehatan dengan pelayanan publik.
KPK memandang rekomendasi tersebut adalah solusi untuk memperbaiki inefisiensi dan menutup potensi penyimpangan (fraud) yang ditemukan dalam kajian. KPK yakin jika rekomendasi itu dijalankan terlebih dahulu untuk menyelesaikan persoalan mendasar dalam pengelolaan dana jaminan sosial kesehatan, akan dapat menutup defisit BPJS Kesehatan.
ADVERTISEMENT

Serikat Pekerja Turut Menentang Kenaikan Iuran BPJS

Selain itu, Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) menyayangkan langkah pemerintah untuk kembali menaikkan iuran yang mesti dibayar peserta BPJS Kesehatan. Kenaikan tersebut akan berlaku setelah diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 oleh Presiden Jokowi.
Presiden ASPEK Mirah Sumirat mengatakan, keputusan tersebut menunjukkan ketidakpedulian pemerintah atas nasib para pekerja, di mana mereka saat ini juga dihadapkan pada ancaman kehilangan pekerjaan karena virus corona.
"Perpres 64 tahun 2020 yang diterbitkan di tengah wabah pandemi COVID-19 menunjukkan pemerintah tidak peka dan tidak peduli dengan kondisi masyarakat yang saat ini sedang terdampak akibat wabah. Jutaan pekerja telah diputus hubungan kerjanya, jutaan pekerja juga dirumahkan tanpa mendapatkan upah, akibatnya daya beli masyarakat saat ini turun sampai titik terendah," ujar Mirah melalui keterangan tertulis, Sabtu (16/5).
Petugas melayani pelanggan di Kantor BPJS Kesehatan, Jakarta, Senin (9/3). Foto: ANATRA FOTO/M Risyal Hidayat
Kenaikan yang cukup besar itu, ia khawatirkan bakal membuat para buruh yang menjadi peserta BPJS semakin sulit mendapatkan akses kesehatan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, langkah pemerintah ini menurutnya menimbulkan kesan tidak mematuhi putusan Mahkamah Agung (MA). Padahal dengan adanya putusan MA itu, Perpres sebelumnya tak lagi mempunyai kekuatan hukum tetap.
"Presiden seperti terkesan ingin mempermainkan Putusan MA. Pembatalan Perpres No.75/2019 itu karena MA menilai Perpres itu bertentangan dengan perundangan yang lebih tinggi," ujarnya.
Atas dasar itu, ia mendesak agar Jokowi membatalkan Perpres yang baru saja ia keluarkan itu. Sebab jika tidak, sama saja pemerintah menambah beban di tengah wabah yang belum tahu kapan usainya.