Saat Pandemi, Indonesia Masih Ketergantungan Impor Sayur dan Buah dari China

22 Mei 2020 19:09 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Faisal Basri Foto: Ema Fitriyani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Faisal Basri Foto: Ema Fitriyani/kumparan
ADVERTISEMENT
Isu ketahanan pangan menjadi salah satu yang disoroti di tengah pandemi virus corona. Sebab beberapa pihak memprediksi pandemi ini juga berpotensi menimbulkan krisis pangan.
ADVERTISEMENT
Indonesia juga disebut-sebut tidak luput dari ancaman krisis pangan. Apalagi sebagai negara agraris, Indonesia dinilai belum mampu menciptakan daulat pangan.
Ekonom senior INDEF Faisal Basri, mengatakan kurangnya pasokan pangan, terlihat dari impor yang terus dilakukan untuk beberapa komoditas pangan. Padahal lahan pertanian Indonesia cukup luas.
Menurut Faisal Basri, impor pangan Indonesia dari China cukup besar. Jangankan untuk bahan pangan pokok seperti beras, Faisal membeberkan Indonesia juga impor sayur dan buah dari China.
"Fenomenanya impor buah dari China besar, impor sayur juga besar. Ternyata ketergantungan dengan China besar," kata Faisal dalam Diskusi Pangan BEM KM IPB, Jumat (22/5).
Bahkan menurut Faisal, hampir 67,5 persen sayur yang ada di Indonesia impor dari China. Selain itu, Indonesia juga terlalu mengandalkan China sebagai negara tujuan ekspor.
ADVERTISEMENT
Menurut data, Indonesia mengekspor 33,6 persen besi dan baja ke China. Lalu ada biji tembaga 44,7 persen, lignit 97,1 persen, hingga batu bara 17,5 persen. Tak hanya itu, China juga merupakan pangsa pasar ekspor minyak kelapa, porsinya sebesar 19,5 persen.
Menurut Faisal, ketergantungan ini membuat Indonesia terjebak di masa pandemi. Sebab, ketika ekonomi China goyah karena pandemi, ekspor-impor Indonesia juga ikut terdampak.
"Makanya kalau (ekonomi) China nyungsep, (ekspor) sawit kita juga nyungsep," ujarnya.
Di sisi lain, Indonesia mengimpor perlengkapan telekomunikasi sebanyak 53,1 persen dari China. Tak hanya itu, impor semen juga tercatat sebesar 50,4 persen, pipa besi dari baja sebesar 40,4 persen, alumunium 34,1 persen, tembaga 32,4 persen, pupuk 31,2 persen, dan mesin keperluan industri tertentu 28,2 persen.
ADVERTISEMENT
Faisal menduga derasnya impor tersebut disebabkan karena banyak proyek Indonesia yang merupakan investasi China. Sehingga proyek tersebut menggunakan bahan baku bahkan pekerja dari sana.
Tumpukan peti kemas di Terminal 3 Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/2). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Fenomena ini juga terlihat timpang sebab Indonesia hanya mengekspor kekayaan alam dengan nilai tambah yang minim, namun melakukan impor di hampir semua sektor termasuk pangan.
"Sejak 2010 tren impor dari China terus menanjak, bisa mencapai 25 persen. Jadi yang diekspor itu kekayaan alam kita yang nilai tambahnya sedikit, tapi kita impor berbagai produk manufaktur plus pangan kita," kata Faisal.
Faisal mengimbau pemerintah meninjau ulang porsi China dalam perekonomian agar tidak menggerus kedaulatan Indonesia termasuk kedaulatan pangan.
"Ini bukan urusan rasis tapi masalah ketergantungan yang kalau ada apa-apa di China kita bisa babak belur kalau ketergantungan seperti ini," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
*****
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!