Sambut Pembangunan Rendah Karbon, Ini Saran Chatib Basri ke Pemerintah

13 Oktober 2021 18:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Chatib Basri Foto: bekraf.go.id
zoom-in-whitePerbesar
Chatib Basri Foto: bekraf.go.id
ADVERTISEMENT
Melihat keputusan Presiden yang menargetkan defisit anggaran hingga di bawah 3 persen pada 2023, Eks Menteri Keuangan (Menkeu) RI Chatib Basri menyadari kapasitas fiskal yang semakin menyempit sehingga dapat menghambat wacana pembangunan rendah karbon.
ADVERTISEMENT
Dalam diskusi virtual yang dihelat oleh Low Carbon Development Indonesia (LCDI) pada Rabu (13/10), Menkeu yang bertugas pada 2013-2014 ini memberikan beberapa saran kepada pemerintah. Menurutnya, saran-saran ini dapat mendukung rencana pembangunan rendah karbon dan misi net zero emission (NZE) 2060, tetapi juga mendukung pemulihan ekonomi nasional (PEN).
“Sebagai orang di luar pemerintahan, ada yang bisa saya proposisi. Proposal ini sangat tidak populer dan bisa menimbulkan resistensi, tetapi sudah saatnya kita bicara soal ini,” beber Chatib.
Chatib memulai dari implementasi green fiscal stimulus, yakni implementasi carbon tax yang gradual sehingga bisa diterima dengan baik, pun ikut meningkatkan penerimaan negara. Kedua, excise on fossil fuel yang berarti pengurangan produksi dan penggunaan bahan bakar fosil, disertai dengan adanya penarikan cukai dari setiap transaksi.
ADVERTISEMENT
Menyadari bahwa saran darinya akan menimbulkan respons defensif dari berbagai pihak, Chatib tetap merasa hal ini perlu dipertimbangkan.
Suasana pengelolaan panas bumi nasional oleh PT Pertamina Geothermal Energy. Foto: Dok. Pertamina
Green fiscal stimulus, apa itu? Carbon tax yang kita lakukan secara gradual, ini bisa meningkatkan penerimaan. Lalu kedua, ini sensitif di parlemen tapi ini perlu dibicarakan, yaitu tentang excise on fossil fuel. Ya, karena fossil fuel bukanlah barang normal. Itu barang yang non-renewable, maka harus dikurangi. Dari argumen itu, maka sangat wajar bila dikenakan cukai atas fossil fuel, dan pemerintah bisa mendapatkan penerimaan di sini,” jelasnya.
Mengakui bahwa perhitungannya masih kasar, ia menyatakan bahwa solusi yang ia paparkan tetap berkemungkinan untuk menciptakan tambahan penerimaan pemerintah. Tak berhenti sampai di sana, Chatib juga menyebutkan soal minimalisasi penggunaan plastik dan pengurangan insentif ke ‘dirty sectors’ (perusahaan penghasil emisi besar).
ADVERTISEMENT
“Ini bisa jadi additional government revenue, excise on plastic itu juga bisa diterapkan. Dan pemerintah mesti berpikir untuk mengurangi insentif ke ‘dirty sectors’ yang selama ini ada, dan uangnya dialokasikan ke ‘green’,” tuturnya penuh semangat.

Chatib Basri: Saran Saya Technocraticly Sound, Politically Risky

Melanjutkan pembahasannya, Chatib menyadari bahwa penggunaan bahan bakar fosil masih begitu tinggi. Padahal sejak lama, pemerintah sudah bolak-balik mengangkat persoalan pemotongan subsidi BBM.
Tak berujung hasil yang konkret, ia berpendapat, transisi energi yang ditargetkan dalam misi NZE tidak akan terjadi jika harga bahan bakar fosil masih murah.
“Saatnya kita bicara soal pengurangan subsidi BBM lagi. Ini perlu dilakukan karena masyarakat harus transisi energi, tentu tidak akan bisa dilakukan kalau harga fossil fuel-nya murah. Siapa yang akan pindah ke renewable energy kalau pricing policy-nya salah?” ujar Chatib, membuka pertanyaan ke dalam diskusi.
ADVERTISEMENT
Ia memberikan pendapatnya tentang apa yang perlu digagas pemerintah supaya dapat berselancar dalam ombak pandemi COVID-19 dan perubahan iklim.
“Target pemerintah tiga. Pertama, kesehatan. Kedua, bantuan sosial. Tiga, ada UMKM. Proposal saya, bagaimana kalau semua uang yang digunakan, dipindah untuk tiga hal ini? Jadi tax ada (cukai bahan bakar fosil), subsidi dikurangi, tapi uangnya diberikan kepada masyarakat dalam bansos, akses kesehatan, vaksin gratis, dan dukung small-medium enterprise,” sambungnya.
Sebelum menutup gilirannya, Chatib kembali menyebutkan bahwa pendapat dan solusi darinya akan menimbulkan resistensi dan respons sensitif. Akan tetapi, secara teknokratis, ia merasa ini jalan terbaik.
“Semua yang saya sampaikan ini technocraticly sound, tapi politically berisiko. Ini resistensinya akan tinggi. Ini kombinasi yang politically sensitive. Tapi jika dilakukan green fiscal stimulus dengan tujuan untuk kesehatan, bansos, dan UMKM; saya lihat ini adalah kebijakan yang triple win, it’s good for vulnerable groups, good for environment, and also good for macroeconomy,” tutup Chatib.
ADVERTISEMENT