Sebutan Negara Maju Bisa Rugikan Indonesia, Kok Bisa?

23 Februari 2020 18:15 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ekspor Toyota Indonesia tumbuh hampir 1 persen. Foto: dok. TMMIN
zoom-in-whitePerbesar
Ekspor Toyota Indonesia tumbuh hampir 1 persen. Foto: dok. TMMIN
ADVERTISEMENT
Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (United States Trade Representative) baru saja mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang. Dengan begitu, Indonesia akan beralih menjadi negara maju.
ADVERTISEMENT
Selain Indonesia, predikat negara maju juga disematkan kepada beberapa negara lainnya seperti Brasil, India, China, Korea Selatan, Malaysia, Thailand hingga Vietnam.
Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, konsekuensi Indonesia ketika menjadi negara maju yaitu bakal dihapuskannya pula Indonesia sebagai negara penerima fasilitas GSP (Generalized System of Preferences).
Dengan fasilitas GSP, Indonesia sebelumnya bisa menikmati fasilitas bea masuk yang rendah untuk ekspor tujuan AS. Sehingga akan membantu bagi negara berkembang dan miskin untuk terus bertumbuh.
Lantas, apa ruginya bagi Indonesia?
Bhima mengatakan, peniadaan GSP dengan status menjadi negara maju bisa menyebabkan meningkatnya beban tarif bagi produk ekspor asal Indonesia yang selama ini mendapat insentif. Saat ini menurutnya, ada total 3.572 produk Indonesia memperoleh fasilitas GSP.
ADVERTISEMENT
"Pastinya rugi, karena fasilitas perdagangan yang selama ini dinikmati Indonesia akan dicabut," ujar Bhima kepada kumparan, Minggu (23/2).
Peneliti Indef Bhima Yudhistira saat menghadiri Diskusi Kinerja OJK Ditengah Kasus Jiwasraya, Selasa (28/1). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Lebih lanjut, Bhima pun menyebut nantinya Indonesia juga bisa kehilangan potensi ekspor yang besar ke AS. Utamanya berkaitan dengan produk-produk unggulan seperti tekstil dan pakaian sebab insentifnya dihapus.
Sehingga, ia bilang, defisit neraca perdagangan Indonesia bisa makin lebar. Per Januari 2020 ini, defisit Indonesia mencapai USD 864 juta.
"Kalau Indonesia tidak masuk GSP lagi kita akan kehilangan daya saing pada ribuan jenis produk. Ekspor ke pasar AS terancam menurun khususnya sektor tekstil dan pakaian jadi. Ini ujungnya memperlebar defisit neraca dagang," kata dia.
Mengutip data statistik Kementerian Perdagangan (Kemendag), Amerika Serikat (AS) merupakan mitra dagang terbesar kedua Indonesia setelah China. Pada 2019, nilai perdagangan Indonesia-AS mencapai USD 26,975 miliar.
ADVERTISEMENT
Ekspor Indonesia ke AS sebesar USD 17,720 miliar, sedangkan Impor Indonesia dari AS sebesar USD 9,255 miliar. Indonesia tercatat mengalami surplus perdagangan dengan AS hingga USD 8,464 miliar.
Menyoal pengangkatan Indonesia menjadi negara maju itu, South China Morning Post (SCMP), Minggu (23/2) menyebut keputusan tersebut memang bertujuan agar negara-negara tersebut tidak memperoleh perlakuan khusus dalam perdagangan internasional.
Presiden AS Donald Trump dinilai frustrasi karena World Trade Organization (WTO) memberikan perlakukan khusus terhadap negara-negara berkembang dalam perdagangan internasional.
Selain itu, proses investigasi dugaan subsidi terhadap negara berkembang lebih longgar. Ujung-ujungnya, produk negara berkembang bisa dijual lebih murah dan dapat menggilas produk sejenis di negara maju.
"China dinilai sebagai negara berkembang. India sebagai negara berkembang. AS sendiri disebut negara maju. Menurut saya, AS juga bagian dari negara berkembang," kata Trump pada bulan lalu saat kunjungan ke Davos, Swiss.
ADVERTISEMENT
Sementara, The Star, menyebut alasan lainnya bila Trump menuding Pemerintah Xi Jinping memberikan subsidi terhadap produk ekspor Negeri Tirai Bambu, sehingga memperlebar defisit neraca perdagangan dengan AS.
Direktur Studi WTO di Beijing, Xue Rongjie menilai keputusan terbaru tersebut dapat mengganggu sistem perjanjian dagang antarnegara yang telah berlaku saat ini.
"Sikap tersebut akan mengganggu kepentingan China dan negara anggota WTO," ungkap Xue.