Sederet Catatan Pengusaha Soal UU Cipta Kerja Klaster Perpajakan

19 November 2020 20:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan Sri Mulyani berbincang dengan Kepala Direktorat Jenderal Pajak Suryo Utomo di Kantor Dirjen Pajak, Jakarta, Selasa (10/3). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani berbincang dengan Kepala Direktorat Jenderal Pajak Suryo Utomo di Kantor Dirjen Pajak, Jakarta, Selasa (10/3). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Para pengusaha menyambut baik rencana pemerintah mereformasi aturan perpajakan lewat UU Cipta Kerja. Saat ini pemerintah tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai turunan UU tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam proses penyusunan tersebut, para pengusaha pun berharap aspirasi mereka didengar. Wakil Ketua Umum APINDO Suryadi Sasmita mengatakan para pengusaha ingin adanya keadilan dalam penerapan perpajakan.
“Tentu pemerintah berharap investasi masuk, pajak masuk, pengangguran berkurang. Tapi pengusaha juga ada harapan. Yang kita minta fairness. Banyak pengusaha belum bayar pajak. Dengan perpajakan di Cipta Kerja, saya harap DJP untuk lebih aktif ekstensifikasi. Dengan semua kemudahan dan pajak turun, masing-masing kita bayar lah,” ujar Suryadi dalam Webinar Serap Aspirasi Implementasi UU Cipta Kerja Sektor Perpajakan, Kamis (19/11).
Menurutnya dengan adanya kemudahan ini, harapannya kepatuhan wajib pajak bisa meningkat. Sehingga tidak ada lagi cerita soal pemerintah mengejar-ngejar pengusaha untuk bayar pajak. Di sisi lain, Suryadi berharap pemerintah juga bisa menjelaskan secara lebih detail mengenai RPP Perpajakan ini.
ADVERTISEMENT
“Misal untuk investasi butuh berapa tahun. Di samping waktu, jenis-jenis investasinya yang boleh dan enggak, itu harus ada penjelasan di PP atau PMK,” ujarnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat konferensi pers tentang UU Cipta Kerja di Kemenko Perekonomian, Rabu (7/10). Foto: Kemenko Perekonomian
Sebab menurutnya setiap kali pemerintah menerbitkan PP, penjelasannya masih dirasa kurang. Suryadi menegaskan, penjelasan mendetail ini sangat penting. Sebab jika tidak masing-masing orang bisa memiliki tafsir yang berbeda-beda.
“Saya mohon sangat, agar nanti ada contoh-contoh. Tapi enggak usah semua, misal hitungan saja supaya lebih jelas. Pengkreditan PPN, harus jelaskan kembali, berapa lama sih dikasih batas waktu,” ujarnya.
Termasuk juga soal dividen. Dalam UU Cipta Kerja, diputuskan bahwa dividen dalam negeri dihapuskan PPh-nya dan dividen dari luar negeri tidak akan dikenakan pajak apabila dia ditanamkan dalam kegiatan usaha investasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Jika dividen tersebut tidak ditanamkan sebagai investasi di Indonesia, maka akan dikenakan pajak. Termasuk juga jika dividen tersebut akan ditarik ke luar negeri, maka sebelum ditarik, akan diberlakukan pajak.
“Dividen-dividen ini musti dijelaskan yang luar negeri. Misal ada satu perusahaan besar, katakan Google. Terus ada perusahaan Indonesia beli saham Google. Yang disebut dividen dibawa balik kan bukan berapa persen dari Google. Misal PT A dapat 10 persen atau Rp 100 miliar. Nah 30 persennya bisa dibawa. Itu mesti ada penjelasan, kalau enggak nanti confused,” ujarnya.
Juga untuk dividen dalam negeri, Suryadi mempertanyakan apakah ada batasan untuk aturan ini. Misalnya seseorang membeli sebuah saham sebanyak 1 hingga 2 persen. Dari investasi tersebut, orang itu hanya mendapat dividen sekitar Rp 10-15 juta. Nilai tersebut menurutnya sangat kecil untuk diinvestasikan kembali. Padahal dalam UU Cipta Kerja, dividen bisa bebas pajak jika hasilnya digunakan kembali untuk investasi.
ADVERTISEMENT
“Mau investasi ke mana? Apakah nanti ada penjelasan kalau sekian boleh dikonsumsikan, tidak semua diinvestasikan. Kan kalau di UU harus investasi dulu baru (pajaknya) nol (persen),” ujarnya.