Banjir di Kampung Pulo

Selain 2 Bendungan, Perlu 192.513 Resapan untuk Tangani Banjir Jakarta

4 Januari 2020 17:32 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga berkativitas saat banjir di Kampung Pulo, Jakarta Timur, Kamis (2/1). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Warga berkativitas saat banjir di Kampung Pulo, Jakarta Timur, Kamis (2/1). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Hujan yang mengguyur Jabodetabek di awal tahun ini dikategorikan sebagai curah hujan terekstrem selama 186 tahun terakhir. Akibatnya banjir terjadi di sejumlah daerah di Jakarta, Tangerang, Bekasi, Depok dan sekitarnya. Bahkan banjir kali ini bukan hanya terjadi di kawasan perumahan kumuh dan padat penduduk, tetapi juga terjadi di kawasan permukiman menenangah dan elite.
ADVERTISEMENT
Ketua Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) DKI Jakarta Dani Muttaqin berpendapat, ancaman curah hujan yang ekstrem perlu dihadapi dengan penanganan yang ekstrim pula. Saat ini kapasitas penanganan banjir dinilainya belum memadai, padahal curah hujan ekstrim di awal tahun 2020 kemarin adalah the new normal yang tak mustahil akan terjadi di masa mendatang.
Adapun, salah satu penyebabnya ialah fenomena perubahan iklim dan tekanan penduduk yang semakin menguat di kawasan Metropolitan Jabodetabek.
Secara akademis, risiko bencana bergantung pada besarnya ancaman dan kerentanan yang berbanding terbalik dengan kapasitas, baik kapasitas struktur, non-struktur, maupun regulasi maupun tata kelola.
Dengan semakin tingginya ancaman bencana lewat curah hujan yang semakin ekstrim dan kerentanan wilayah Jakarta yang berada di bawah permukaan laut, maka kapasitas penanggulangan harus semakin besar.
ADVERTISEMENT
“Perlu ada peningkatan kapasitas penanganan bencana yang ekstrim dan radikal untuk menanggulangi banjir di Jakarta,” ujar Dani dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (4/1).
Foto udara kawasan Jalan Gunung Sahari dan Jalan Samanhudi terendam banjir di Jakarta Pusat, Kamis (2/1). Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Adapun, yang dimaksud dengan kapasitas penanganan bencana ialah mencakup penanganan struktur, nonstruktur, regulasi dan tata kelola.
Dari kajian IAP DKI Jakarta sebagai organisasi profesi perencana kota, terdapat langkah ekstrem yang diperlukan untuk meningkatan kapasitas penanggulangan banjir.
Pertama di bagian hulu, pembangunan Bendungan Ciawi dan Bendungan Sukamahi hanya memiliki kapasitas 6,45 juta m3 dan 1,65 juta m3. Total kapasitas kedua waduk tersebut baru bisa menampung sekitar 30 persen aliran air yang mengarah ke Jakarta sehingga masih dibutuhkan adanya tambahan pembuatan sumur resapan.
Untuk meresapkan sisa air dari hulu juga dibutuhkan sekitar ±192.513 buah sumur resapan. Pembangunan sumur resapan sebanyak itu diperkirakan memerlukan luas permukaan sebesar 76 Ha yang dapat menggunakan lahan-lahan kosong, sempadan ataupun halaman bangunan fasos fasum di bagian hulu Jakarta.
Pemandangan Bendungan Ciawi dan Sukamahi yang sedang dibangun di Ciawi, Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Kedua di bagian tengah dan hilir, pembangunan Sodetan Sungai Ciliwung dari Sungai Ciliwung ke Kanal Banjir Timur (KBT) mutlak harus segera dilakukan, agar aliran air di Sungai Ciliwung dapat terpecah mengalir ke KBT. Sehingga aliran sungai dari Ciliwung bisa bergerak ke barat dan timur, tidak menumpuk dan terhenti di bagian tengah.
ADVERTISEMENT
Ketiga di bagian tengah juga, sistem dan kapasitas drainase yang ada di Jakarta sudah tidak memadai lagi. Karena itu harus ada water management system yang handal dan optimal. Semua drainase, baik saluran drainase mikro lingkungan maupun drainase makro harus dibenahi sehingga terkoneksi dan dapat berfungsi dengan baik. Dani mengingatkan pentingnya water management system untuk mengalirkan air di sistem internal kota yang dianggap sudah diabaikan selama beberapa tahun terakhir.
Terakhir, peningkatan kapasitas non-struktur dan regulasi dapat dilakukan dengan penataan kawasan hulu dengan segera menetapkan Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional (KSN) Jabodetabek yang sedang direvisi, pengendalian pembangunan di kawasan hulu, maupun insentif kompensasi pembangunan di kawasan hulu.
ADVERTISEMENT
“Pembangunan di puncak maupun kawasan hulu lainnya berdampak pada penerimaan daerah, perlu dipikirkan langkah insentif dan kompensasi yang jelas untuk moratorium pembangunan di hulu”, ujar Dani.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Jakarta Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Lebih lanjut, di tengah dan hilir, Dani juga menyarankan untuk dilakukan konsolidasi lahan maupun penertiban bangunan di sekitar aliran sungai, penambahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan taman yang berfungsi sebagai sebagai rainwater collecting/ waterpark, seperti yang telah dilakukan misalnya di kota Rotterdam Belanda.
Kapasitas tata kelola perkotaan pun harus ditingkatkan ke level metropolitan governance yang mengedepankan kerjasama lintas administrasi di Jabodetabek dan pemerintah pusat. Menurut Dani meskipun hujan terus mengguyur Jakarta dan sekitarnya, tetapi justru ‘suasana’ terasa lebih ‘panas’.
“Para pengambil keputusan di pusat maupun Jakarta harus bisa menahan ego masing–masing untuk mendinginkan suasana. Harus terjalin kolaborasi yang kompak antara pemerintah pusat dan daerah, antar daerah dengan daerah, dan antar kelompok masyarakat, agar bencana banjir dapat teratasi dengan baik," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten