Setahun Jokowi-Ma’ruf, Ekonomi Indonesia Masuk Jurang Resesi

20 Oktober 2020 13:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Jokowi dan Wapres Ma'ruf Amin di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Rabu (23/10). Foto: Kevin Kurnianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi dan Wapres Ma'ruf Amin di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Rabu (23/10). Foto: Kevin Kurnianto/kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin hari ini tepat satu tahun dilantik sebagai orang nomor satu dan dua di pemerintahan Indonesia. Dalam setahun perjalanan ini, target pertumbuhan ekonomi yang melesat di 2020 nampaknya harus ditangguhkan.
ADVERTISEMENT
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan mencapai 6 persen dalam waktu lima tahun. Caranya yakni dengan meningkatkan konsumsi domestik serta diversifikasi ekspor.
Berdasarkan RPJMN 2020-2024, pertumbuhan ekonomi ditargetkan meningkat rata-rata 6 persen per tahunnya hingga 2024. Angka ini akan diawali dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen pada 2020.
Namun sayangnya, pandemi COVID-19 membuat perekonomian mengalami kontraksi, bahkan di tahun ini pertumbuhan ekonomi Indonesia masuk ke zona negatif atau resesi.
Di awal tahun ini, perekonomian berjalan masih sesuai rencana. Pemerintah dalam APBN 2020 awalnya menargetkan ekonomi tumbuh 5,3 persen.
Selanjutnya, tingkat Inflasi sebesar 3,1 persen. Sementara itu nilai tukar rupiah rata-rata dipatok Rp 14.400 per dolar AS dan tingkat suku bunga SPN 3 bulan sebesar 5,4 persen.
ADVERTISEMENT
Adapun harga minyak mentah Indonesia rata-rata USD 63 per barel dan lifting minyak rata-rata 755 ribu barel per hari, serta lifting gas rata-rata 1.191 ribu barel setara minyak per hari.
Namun, pandemi COVID-19 yang telah melanda berbagai negara terlebih dulu, seperti China, membuat ekonomi domestik ikut terdampak dan melambat. Di kuartal I 2020, ekonomi hanya tumbuh 2,97 persen dari tahun sebelumnya (yoy).
Pada Maret 2020, COVID-19 resmi masuk ke Tanah Air. Pemerintah pun mengambil langkah untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai wilayah. Seluruh aktivitas kantor, sekolah, mal, hingga pasar harus ditutup. Akibatnya, hantaman terhadap ekonomi pun semakin menjadi-jadi.
Pada kuartal II 2020, realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia anjlok menjadi minus 5,32 persen (yoy). Ini pertama kalinya terjadi setelah krisis keuangan Asia 1999.
Jokowi dan Ma'ruf Amin laksanakan salat jumat di Masjid Baiturrahim. Foto: Muchlis Jr - Biro Setpres
Kementerian Keuangan pun memastikan Indonesia sudah masuk zona resesi sejak kuartal I tahun ini. Sebab, ekonomi mengalami perlambatan yang cukup signifikan, dari yang biasanya tumbuh di kisaran 5 persen.
ADVERTISEMENT
“Kalau dilihat di kuartal I melambat di bawah 5 persen, kuartal II apalagi, dalam sekali. Kuartal III expect di kisaran minus 2,9 persen dan minus 1 persen, berarti sudah resesi, sudah perpanjangan perlambatan ekonomi kita,” ujar Febrio dalam webinar BKF, Jumat (25/9).
Adapun di kuartal III tahun ini, Kemenkeu memproyeksikan ekonomi akan kembali minus 2,9 persen hingga minus 1 persen. Sehingga selama tahun ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan minus 1,7 persen hingg 0,6 persen.
Dengan negatifnya pertumbuhan ekonomi selama dua kuartal berturut-turut, hal itu mengartikan suatu negara mengalami resesi.
Namun secara resmi, pertumbuhan ekonomi di kuartal III ini baru akan diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 5 November mendatang.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, berdasarkan laporan setahun Jokowi-Ma’ruf dari Kantor Staf Presiden (KSP) yang diterima kumparan, pemerintah menyebut kontraksi ekonomi bukan kartu mati. Dalam laporan itu disebutkan, pandemi corona juga memukul perekonomian di negara lainnya.
Ganasnya penyebaran COVID-19 memaksa pemerintah mengubah alokasi anggaran secara besar- besaran untuk menangani wabah ini. APBN 2020 yang disusun sebelum pandemi terpaksa direvisi karena tak bisa menjawab kebutuhan darurat penanganan situasi.
Payung hukum pun disiapkan dari Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang kemudian menjadi UU Nomor 2 tahun 2020 soal Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan COVID-19.
Beleid keuangan ini sesungguhnya memberikan fleksibilitas bagi pemerintah untuk merespons situasi secara extraordinary. Antara lain juga memberikan relaksasi defisit, mengingat kebutuhan belanja negara untuk menangani COVID-19 meningkat pada saat pendapatan negara menurun. APBN 2020 pun sudah diubah dua kali dari defisit sebesar 5,07 persen menjadi 6,34 persen PDB. Alokasi penanganan COVID-19 menjadi Rp 695,2 triliun, dengan Rp 87,55 triliun di antaranya difokuskan untuk kesehatan.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, perekonomian Indonesia memang terdampak, namun dinilai masih dangkal. Kuartal II 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi 5,3 persen. Angka ini diklaim jauh lebih baik dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya, bahkan di antara negara G-20. Indonesia berada di peringkat ketiga di bawah Tiongkok dan Korea Selatan.
COVID-19 berdampak pada 3,5 juta pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dirumahkan. Pengangguran naik menjadi 10,4 juta orang. Angka kemiskinan meningkat menjadi 26,42 juta orang, terutama di perkotaan.
Pemerintah menilai sinyal perbaikan kondisi ekonomi ke depan mulai tampak dari perbaikan indikator manufaktur dalam purchasing manager indeks (PMI) di maupun indeks keyakinan konsumen.
Di tahun depan, pemerintah memproyeksikan ekonomi akan kembali pulih. Target pertumbuhan ekonomi dipatok 5,0 persen di 2021.
ADVERTISEMENT
===