Cover Profit Edisi 3

Siasat Berburu Cuan di Pasar Saham

7 Februari 2020 15:59 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Cari untung. Foto: Argy Pradypta/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Cari untung. Foto: Argy Pradypta/kumparan
ADVERTISEMENT
Investasi merupakan bagian penting dalam perencanaan keuangan. Berinvestasi akan mendatangkan keuntungan yang terus bertambah pada masa yang akan datang. Bahkan keuntungan tersebut bisa berkali lipat dari nilai uang yang diinvestasikan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Namun sayangnya, masih banyak generasi milenial yang belum memikirkan tentang pentingnya investasi.
Nah, buat kamu yang belum memiliki portofolio investasi, ini saat yang tepat untuk merencanakan dan memulainya. Ada banyak jenis investasi yang bisa kamu coba, lho. Salah satu yang wajib dipilih adalah investasi di pasar modal yaitu dengan trading saham.
Kejelian seorang trader dalam melihat peluang di bursa saham bisa mendatangkan cuan berkali lipat. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan oleh Aditya Parameswara. Kepada kumparan, Adit, sapaan pria tersebut, menceritakan pengalamannya mendulang cuan hingga miliaran rupiah lewat trading saham.
Trading saham adalah transaksi saham yang berlangsung dengan memanfaatkan fluktuasi harga untuk mendapatkan keuntungan dari selisih jual beli. Trader akan membeli saham pada harga yang rendah dan menjualnya kembali pada harga yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan investasi yang butuh waktu lama, trading bisa berlangsung dalam waktu yang sangat singkat misalnya harian, mingguan atau terkadang bulanan.
Adit memulai trading saham sejak 10 tahun lalu, ketika ia masih duduk di bangku kuliah. Saat itu, beruntungnya, Adit mendapat modal dari orang tuanya sebesar Rp 10 juta untuk membeli saham.
Beruntungnya lagi, bursa saham pada periode 2009 hingga 2010 sedang dalam kondisi cukup cemerlang. Saham yang ia beli selalu mengalami kenaikan harga.
“Awalnya trading saham itu modal Rp 10 juta dimodalin sama orang tua. Ini ada keuntungannya juga karena enggak semua orang bisa dimodalin orang tua, ya. Kebetulan pas belajar, saham lagi bagus-bagusnya. Masuk beli apa aja, pasti untung. Itu sekitar tahun 2010,” cerita Adit kepada kumparan beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Melihat prospek yang cukup cemerlang, Adit sempat menambah modal hingga menjadi Rp 25 juta. Dari besaran modal tersebut, Adit mengoleksi tiga sampai lima saham. Ia pun berhasil mendulang cuan hampir 100 persen.
Uang investasi Adit saat itu menjadi sekitar Rp 50 juta. Namun, kondisi tersebut tak berlangsung lama. Menurut Adit, pada medio 2011 hingga 2012, bursa saham dihantam krisis.
Portofolionya amblas saat itu. Cuan yang awalnya sudah terkumpul mencapai Rp 50 juta, harus terkoreksi parah hingga hanya tersisa sekitar Rp 29 juta. Sejak ditimpa mini krisis tersebut, Adit memutuskan untuk rehat sejenak sembari menyelesaikan kuliahnya.
Baru setelah lulus pada 2016, alih-alih bekerja pada perusahaan besar, sarjana Teknik Sipil ini justru kembali menekuni trading saham. Adit pun berkomitmen untuk fokus menjadi full time trader.
Pergerakan IHSG Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
“Tahun 2016 baru lulus setelah kuliah tujuh tahun. Dari situ baru mulai struggle, udah kuliah tujuh tahun, mau cari kerja apa, bingung. Kebetulan ada saham, jadi nyobain mau diseriusin banget saham ini. Bisa enggak dapet penghasilan dari sini,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Dari keputusan besar inilah, petualangan Adit di lantai bursa dimulai. Adit mengatakan, sejak awal trading, ia tidak memiliki banyak jenis saham. Biasanya, ia hanya mengoleksi tiga sampai lima saham.
Sebagai seorang trader, acuan utama untuk membeli atau pun menjual saham terletak pada transaksional analisis. Artinya, trader harus melihat grafik pergerakan jual-beli sebelum memutuskan untuk membeli saham. Grafik jual-beli akan memberikan gambaran pada trader tentang volume pembelian atau penjualan sebuah saham dalam kurun waktu tertentu. Dari situ, trader bisa menganalisa harga saham akan bergerak naik atau turun.
Selain memantau grafik transaksi, Adit juga akan mempertimbangkan momentum alias faktor eksternal yang bisa mempengaruhi pergerakan pasar modal. Misalnya seperti tengah terjadi demonstrasi, pemilu, kenaikan suku bunga dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
“Kalau trading kan lebih lihat grafik, momentum dan lain-lain. Enggak terbatas dengan ini perusahaan apa sih, gue enggak kenal perusahaannya, gue enggak mau masuk. Enggak sampai kayak gitu. Jadi in general pasti banyak saham yang keluar masuk (di portofolio). Yang gue koleksi biasanya kayak second liner (saham-saham lapis dua), kadang-kadang masuk blue chip juga. Lebih ke transaksional analisis, dari situ bakal kelihatan kurang lebih harga bakal gerak ke mana,” ujarnya.
Meski demikian, perjalanan Adit tak selamanya mulus. Di tahun 2018, ia sempat mengoleksi sebuah saham. Adit awalnya membeli saham tersebut pada harga Rp 7.000 per lembar. Harga saham merangkak naik hingga menyentuh Rp 10.000 per lembar. Saat itu Adit memutuskan untuk menjual saham tersebut. Sudah untung lumayan, pikirnya saat itu.
ADVERTISEMENT
Namun dari analisisnya, Adit melihat ada kemungkinan saham itu bakal bergerak lebih tinggi lagi. Akhirnya Adit pun kembali membeli saham yang sama di harga Rp 10.000 per lembar. Terbukti, harga saham itu melejit hingga menyentuh Rp 17.000 per lembar. Di titik ini, Adit melihat bahwa penguatan saham mulai terbatas. Adit pun memutuskan untuk melepas saham tersebut. Toh, cuan tebal sudah di tangan. Dari trading saham ini Adit mendulang cuan hingga Rp 1 miliar.
Benar sekali, setelah aksi ambil untung hingga menyentuh Rp 1 miliar, harga saham tersebut perlahan menurun. Adit yang sudah kadung percaya diri, justru tertarik untuk membeli lagi. Ia menilai, saat itu merupakan kesempatan emas mumpung harga lagi turun. Siapa tahu, cuan besar bisa terulang untuk ketiga kali.
ADVERTISEMENT
Dengan pertimbangan ini, Adit pun membeli lagi saham yang sama. Sayangnya, analisisnya saat itu kurang tepat. Setelah membeli dalam volume yang cukup besar, saham tersebut bukannya rebound tapi justru turun makin dalam. Sekali lagi, Adit merugi.
“Ternyata saham itu malah terus turun. Akhirnya jual rugi. Itu ruginya sekitar Rp 500-700 juta. Jadi dari dapet Rp 1 miliar, hilang Rp 700 juta masih sisa Rp 300 juta lah,” kisahnya.
Pengalaman itu tak membuat Adit resign jadi trader saham. Pada 2019 lalu, ia kembali mengoleksi sebuah saham lain. Saham tersebut dibeli secara bertahap selama satu bulan. Namun sayangnya, lagi-lagi harga saham justru amblas. Lagi-lagi, Adit merugi. Ia kehilangan sekitar Rp 500 juta saat itu.
ADVERTISEMENT
Namun, kali ini Adit lebih beruntung. Setelah kehilangan duit Rp 500 juta, Adit tetap bertahan pada portofolio saham tersebut. Benar saja, penurunan sebelumnya ternyata hanya pemanasan sebelum akhirnya harga saham naik tajam. Dari trading saham tersebut, Adit cuan sampai Rp 2,5 miliar.
“Setelah loss yang Rp 700 juta tadi masuk ke saham lain. Kirain mau naik, rebound, sempet kita tambahin (beli lagi). Eh, turun dulu ternyata sampai sempat loss Rp 300-500 juta. Baru akhirnya dia rebound ke atas sampai profit Rp 2,5 miliar,” ujarnya.
Kasus ini menurut Adit membuktikan bahwa analisis yang matang sangat penting. Sebab setelah kehilangan Rp 500 juta, Adit memutuskan untuk tetap hold alias mempertahankan saham tersebut. Sebab berdasarkan analisis, pergerakan harganya memang terlihat masih baik. Terbukti, akhirnya harga saham naik dan Adit mendapatkan cuan yang cukup fantastis.
ADVERTISEMENT
Namun cuan berlipat ini tak hanya soal jago analisis semata. Dari pengalaman-pengalaman itu, Adit belajar bahwa dalam trading saham, faktor psikologis juga memainkan peranan penting. Faktor ini menurut Adit jadi faktor yang paling sulit dikendalikan.
Main Saham Butuh Mental Baja
Butuh pengalaman dan waktu yang tidak instan agar trading saham tidak dilakukan secara emosional. Seorang trader harus bisa mengatur mentalnya agar tak panik saat harga saham turun, namun juga tak serakah saat harga saham naik.
“Loss itu bagian dari trading. Sama seperti rugi jadi bagian dari bisnis. Sama juga kayak sedih itu bagian dari kehidupan,” ujarnya.
Faktor psikologis ini harus terus diasah. Mental seorang trader harus dibiasakan melihat kondisi pasar yang naik turun. Trader harus paham bahwa dengan berinvestasi saham, seseorang bisa mendapatkan cuan tinggi namun di lain waktu juga harus siap menanggung rugi.
ADVERTISEMENT
“Dulu cut loss Rp 5 juta berat. Terus modal naik lumayan, cut loss Rp 10-20 juta jadi biasa aja. Cut loss Rp 50 juta sempat goyang. Kalau cut loss Rp 500 juta itu udah mulai kayak another level. Butuh refresh lagi supaya pikiran bener, mental bener. Tapi kalau udah biasa, ya biasa aja. Jadi lihat duit itu memang sesuatu yang fluktuatif,” ujarnya.
Berkali-kali untung dan beberapa kali juga harus merugi, Adit tetap beranggapan bahwa trading saham adalah pekerjaan yang menarik dan bisa memberikan return besar.
Adit pun merasa cukup puas dengan pencapaian saat ini. Keberhasilannya sebagai trader pun tak ia simpan sendiri. Sejak 2017 lalu, Adit membangun sebuah komunitas trader bernama ‘Cuan Tiap Hari’. Para trader baik level pemula maupun advance bisa ikut gabung dalam grup berbayar ini untuk belajar langsung dari Adit.
Ilustrasi menabung saham untuk masa tua. Foto: Shutter Stock
Tapi bagi kamu yang kadung penasaran, Adit membeberkan beberapa tips agar bisa sukses trading saham, nih.
ADVERTISEMENT
Pertama, seseorang yang mau masuk ke pasar saham harus menentukan prioritas. Jika saham jadi prioritas, maka artinya orang tersebut bersedia meluangkan waktu lebih banyak. Ini artinya opsi untuk trading terbuka lebar. Namun, bagi yang tak punya waktu, berinvestasi bisa jadi opsi.
Kedua, kelola pola pikir dan mental. Ingat, faktor psikologis sangat berpengaruh. Seorang trader boleh punya ambisi, namun di titik tertentu juga harus bisa puas dengan hasil yang diperoleh.
Ketiga, soal kemauan dan kemampuan. Menurut Adit, tidak ada hitung-hitungan paten soal berapa besar modal awal yang harus ditaruh saat mulai trading saham. Hal tersebut kembali pada kemauan dan kemampuan finansial seseorang.
“Kalau gaji Rp 10 juta, mau nih taruh Rp 7 juta ke saham, tapi mampu enggak bertahan hidup sebulan hanya dengan Rp 3 juta? Jadi balik ke masing-masing,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Setelah menentukan besaran modal yang sesuai kemampuan, pemilihan saham juga penting. Jika sebagai pemula belum terlalu paham soal transaksional analisis, maka Adit menyarankan mulai belajar trading dari membeli saham-saham blue chip alias unggulan. Harga saham blue chip memang terkesan mahal, namun risikonya lebih kecil.
Beberapa saham blue chip yang cukup familiar yaitu saham milik Unilever (UNVR), Indofood (INDF), hingga saham perbankan seperti milik BRI (BBRI), BNI (BBNI), Mandiri (BMRI) atau BCA (BBCA).
SVP Research Kanaka Hita Solvera Janson Nasrial mengatakan, investor pemula memang disarankan untuk membeli saham dari perusahaan yang familiar atau dekat dengan kehidupan sehari-hari.
“Yang paling penting itu kalau kita mau beli saham harus kenal dengan perusahaannya. Bukan kenal karena sahamnya. Kita mulai dari sekeliling kita aja,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Tapi tahu merek produknya atau familiar dengan nama perusahaannya saja tentu tidak cukup. Janson menyarankan agar investor pemula bisa mengenal lebih dalam tentang fundamental perusahaan.
Caranya yaitu dengan melihat laporan keuangan perusahaan dan memperhatikan komponen tertentu seperti besaran modal hingga utang yang dimiliki. Selain itu, usahakan untuk memilih saham dari perusahaan yang sudah mencetak kenaikan laba bersih selama minimal tiga tahun berturut-turut.
Menurut Janson, belajar nabung saham juga tak melulu dengan modal puluhan sampai ratusan juta. Beli saham bisa dimulai dari kisaran Rp 2 juta atau Rp 3 juta bergantung kemampuan masing-masing.
Terakhir, Janson juga mewanti-wanti, menabung saham butuh kesiapan psikologis yang matang. Seorang investor harus sabar dan tidak mudah terpengaruh dengan opini orang lain atau pun keadaan yang memancing emosi.
ADVERTISEMENT
“Kuncinya sabar sebenernya. Tidak terpengaruh dengan opini orang, tidak terpengaruh dengan keadaan yang mengguncang psikologis para investor. Misalnya kayak corona. Gara-gara corona IHSG sempat turun. Justru keadaan seperti itu bisa dimanfaatkan milenial untuk beli saham karena harganya lagi murah,” ujarnya.
Niat sudah ada, modal sudah terkumpul, mental sudah siap, jadi kapan mau mulai investasi saham? Siap jadi miliarder muda, kan?
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten