Soal Cukai Plastik & Minuman Manis di 2023, Kemenkeu: Lihat Kondisi Ekonomi

20 Desember 2022 19:46 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani dalam Media Briefing DJBC, Jumat (17/6/2022). Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani dalam Media Briefing DJBC, Jumat (17/6/2022). Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Askolani, mengungkapkan pencantuman target penerimaan cukai plastik dan minuman manis dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN 2023 baru sebatas rencana.
ADVERTISEMENT
Askolani mengaku belum bisa memastikan kapan cukai minuman manis dan plastik berlaku. Adapun dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 130/2022 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2023, Presiden Jokowi menargetkan penerimaan perpajakan 2023 senilai Rp 2.021,2 triliun, termasuk di dalamnya pendapatan cukai plastik dan minuman manis.
"Pendapatan cukai produk plastik Rp 980 miliar, pendapatan cukai minuman bergula dalam kemasan Rp 3,08 triliun," dikutip dari salinan Perpres 130/2022.
Lebih lanjut, Askolani mengungkapkan, tahun 2023 merupakan tahun yang penuh dengan ketidakpastian. Untuk itu, pemerintah sangat berhati-hati dalam membuat sebuah kebijakan.
"Target penerimaan MBDK dan cukai plastik 2023 itu adalah sifatnya perencanaan. Sama dengan yang kami lakukan pada 2022, tetapi implementasinya akan kami sesuaikan dengan ekonomi, sosial, dan pemulihan ekonomi pada 2023," kata Askolani dalam konferensi pers APBN KiTa, Selasa (20/12).
ADVERTISEMENT
Pengusaha Kompak Tolak Cukai Plastik dan Minuman Berpemanis: Rugikan Industri!
Karyawan menyusun minuman kemasan di salah satu gerai Alfamart di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (20/2). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyud
Sebelumnya, Asosiasi pengusaha kompak menolak pungutan cukai plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang akan diterapkan mulai tahun 2023. Kebijakan itu tertuang melalui Perpres Nomor 130/2022 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2023.
Beberapa asosiasi pengusaha tersebut antara lain Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Mereka menganggap kebijakan tersebut berpotensi merugikan industri dan masyarakat sebagai konsumen.
Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani, mengatakan pihak pengusaha keberatan dengan pungutan cukai plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan didasari oleh beberapa alasan.
Pertama, kata dia, berdasarkan sebuah kajian yang dilakukan tahun 2014, minuman siap saji non susu (baik manufaktur maupun bukan) bukan kontributor terbesar diabetes dan obesitas di Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Yang terbesar adalah nasi, protein, dan makanan yang mengandung lemak dan karbohidrat," ujar Hariyadi saat dihubungi kumparan, Jumat (16/12).
Kemudian, Hariyadi mengeklaim bahwa sektor industri minuman masih belum pulih. Hingga saat ini, kata Hariyadi, pertumbuhan industri masih negatif dibandingkan sebelum pandemi COVID-19.
"Tekanan juga bertambah dari kenaikan harga energi, logistik, upah, dan bertumbuhnya minuman non manufaktur," kata Hariyadi.
Dalam kesempatan yang berbeda, Ketua Umum Kadin Indonesia, Arsjad Rasjid, mengungkapkan pihaknya pada dasarnya melihat cukai sebagai instrumen yang baik untuk meningkatkan pendapatan negara, serta kemakmuran masyarakat.
"Tetapi dengan kondisi industri Indonesia yang sedang dihadapi berbagai gejolak ekonomi global, adanya cukai berpotensi memberikan beban tambahan sehingga dapat merugikan industri dan masyarakat sebagai konsumen," kata Arsjad saat dihubungi kumparan, Sabtu (17/12).
ADVERTISEMENT
Arsjad menuturkan, salah satu dampak dari pengenaan tarif cukai adalah kenaikan harga pada produk yang menjadi objek cukai dan mengurangi daya saing produk dalam negeri. Kenaikan harga jual produk tentunya akan menyesuaikan dengan tarif cukai yang ditetapkan oleh pemerintah.
Apabila cukai diterapkan untuk kemasan plastik, dia menilai hal ini akan berpotensi membuat masyarakat beralih ke produk kemasan plastik impor yang secara relatif akan lebih terjangkau.
"Imbas dari kenaikan harga kemasan plastik ini akan sangat berdampak pada masyarakat kelas menengah ke bawah, karena kurangnya wawasan dan kesadaran untuk beralih pada produk yang lebih ramah lingkungan," terang Arsjad.
Arsjad menilai masyarakat juga cenderung masih memilih produk kemasan plastik dari kemasan yang lebih ramah lingkungan seperti kertas, karena lebih tahan lama dan relatif lebih terjangkau. Tak hanya itu, dia juga melihat cukai juga tidak efektif mengurangi limbah plastik.
ADVERTISEMENT
"Kadin melihat diperlukan langkah lainnya selain kebijakan cukai. BPS mencatat sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun. Maka dari itu, butuh kebijakan dan juga infrastruktur untuk sistem daur ulang limbah plastik yang memadai," tutur Arsjad.