Soal Pajak Karbon, Sri Mulyani Justru Diminta Turunkan PPN Produk Daur Ulang

7 Juli 2021 14:29 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi daur ulang plastik botol. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi daur ulang plastik botol. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan Sri Mulyani berencana akan mengenakan pajak karbon dan cukai plastik. Hal ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Di tengah pembahasan itu, pemerintah justru diminta menurunkan PPN produk daur ulang.
ADVERTISEMENT
Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan, Yon Arsal, mengatakan bahwa rencana tersebut sejalan dengan isu perpajakan global. Menurutnya, saat ini berbagai negara juga bergerak menuju perekonomian hijau dan keberlanjutan.
"Kita makanya dalam salah satu RUU KUP yang sekarang sedang diproses, selain cukai yang kita expand, kita masukan di sana salah satunya mengenai pengenaan pajak karbon,” ujar Yon kepada kumparan, Rabu (7/7).
Dalam draf RUU KUP yang diterima kumparan, pemerintah berencana mengenakan cukai plastik dan pajak karbon. Adapun besaran tarif cukai plastik ini masih didiskusikan lebih lanjut, sementara besaran tarif pajak karbon minimal Rp 75 per kilogram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

Insentif untuk Produk Daur Ulang

Sementara itu, Direktur Pengelolaan Sampah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Novrizal Tahar meminta agar pemerintah justru memberikan insentif pajak kepada industri daur ulang. Hal ini juga bertujuan agar daur ulang lebih kompetitif dan berdaya saing.
Menteri Keuangan Sri Mulyani berbincang dengan Kepala Direktorat Jenderal Pajak Suryo Utomo di Kantor Dirjen Pajak, Jakarta, Selasa (10/3). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Lebih lanjut, Novrizal meminta otoritas fiskal untuk menurunkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) daur ulang menjadi 2 persen. Adapun saat ini tarifnya masih normal sebesar 10 persen.
ADVERTISEMENT
"Salah satu upaya dengan memperbesar ekosistem industri daur ulang dan memberikan insentif fiskal. Kami masih perjuangkan pengurangan pajak PPN yang saat ini masih 10 persen untuk menjadi 2 persen," katanya dalam webinar Prospek Bisnis Daur Ulang yang Berkelanjutan di Indonesia.
Selain itu, menurutnya saat ini pemerintah juga telah memperketat impor bahan baku sampah atau scrap untuk memperbesar ekosistem daur ulang. Menurut Novrizal, cara itu dilakukan untuk menjaga keseimbangan pasokan di dalam negeri dan menjamin pertumbuhan yang berkesinambungan.
Menurut dia, sampah dalam negeri akan meningkat hingga tiga kali lipatnya pada 2030 mendatang. Untuk itu, antarkementerian dan lembaga pemerintah terus berkoordinasi agar peta jalan ekonomi hijau termasuk kegiatan daur ulang bisa dilakukan.
ADVERTISEMENT
Adapun dalam laporan Bank Dunia 2021, kerugian Indonesia akibat sampah laut mencapai USD 450 juta setiap tahunnya. Jika dikonversikan dengan rupiah, angka tersebut sekitar Rp 6,48 triliun (kurs Rp 14.400 per dolar AS).
"Kebutuhan bahan baku sampah industri kita 7 juta sementara yang mampu dipenuhi dari dalam negeri hanya 52 persennya. Di sinilah perlu pengembangan baik dengan IT sistem dan kerja sama antar stakeholder penting seperti asosiasi pemulung," katanya.
Ketua Umum Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (Adupi) Christine Halim juga meminta pemerintah segera menerbitkan aturan tentang pemberian insentif berupa pengurangan PPN yang sudah cukup lama bergulir itu. Menurutnya, hal itu perlu segera direalisasikan untuk menopang perkembangan industri daur ulang.
"Industri daur ulang di Indonesia diperkirakan akan semakin tumbuh dan mendatangkan peluang baru bagi pelaku usaha. Karena sampah daur ulang itu banyak jenisnya,” katanya.
ADVERTISEMENT