Sri Mulyani: Isu Utang Tidak Utuh, Tak Dilihat dari Sisi Belanjanya

23 Oktober 2018 13:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mentri Keuangan Sri Mulyani di acara Media Forum yang bertemakan Creative and Innovative Financing: Showcasing Indonesia Model di Nusa Dua, Bali, Senin (8/10/2018). (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mentri Keuangan Sri Mulyani di acara Media Forum yang bertemakan Creative and Innovative Financing: Showcasing Indonesia Model di Nusa Dua, Bali, Senin (8/10/2018). (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Selama empat pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla masalah utang kerap menjadi sorotan. Banyak pihak yang menilai peningkatan utang yang signifikan dalam periode pemerintahan saat ini akan membahayakan keuangan negara.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengklaim selama empat tahun ini pemerintah telah mengelola utang dengan baik. Berdasarkan catatan, pada periode 2015-2017 utang Indonesia mencapai sekitar Rp 1.329 triliun, naik dibandingkan utang periode 2012-2014 sebesar Rp 799,8 triliun.
"Nominalnya besar, dan orang membuat cerita itu. Sengaja ceritanya diputus di situ saja. Dipakai untuk apakah ini? Lihat sisi belanjanya," kata Sri Mulyani di Kantor Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (23/10).
Sri Mulyani menjelaskan, pada periode 2012 hingga 2014 belanja infrastruktur hanya Rp 456 triliun. Sedangkan pada periode 2015-2017 belanja infrastruktur mencapai Rp 904,6 triliun atau tumbuh dua kali lipat.
Sementara untuk belanja pendidikan, periode 2012-2014 pemerintah hanya mengalokasikan Rp 983 triliun. Namun pada 2015-2017, angka tersebut menjadi Rp 1.167 triliun atau naik 118 persen.
ADVERTISEMENT
"Belanja pendidikan bukan belanja yang tidak produktif. Jadi jangan dilihat cuma infrastruktur. Belanja kesehatan juga naik, dari Rp 146 triliun jadi Rp 249,8 triliun atau naik 170 persen. Itu juga belanja produktif, walaupun bentuknya bukan jembatan atau jalan. Belanja untuk melindungi masyarakat miskin jelas produktif," katanya.
Selain itu, belanja perlindungan sosial pada periode 2012-2014 hanya Rp 35 triliun. Saat ini alokasi anggaran untuk belanja tersebut sudah mencapai Rp 299,6 triliun, atau tumbuh 8 kali lipat.
"Makanya kalau dilihat kemiskinan turun, gini ratio makin mengecil artinya makin merata. Wong hasilnya jelas, kok. Penurunan kemiskinan tidak datang begitu saja, tapi melalui program," ujarnya
Petugas Bank menyiapkan uang kertas rupiah untuk ATM dan kantor cabang di Jakarta. (Foto: AFP PHOTO / Bay Ismoyo)
zoom-in-whitePerbesar
Petugas Bank menyiapkan uang kertas rupiah untuk ATM dan kantor cabang di Jakarta. (Foto: AFP PHOTO / Bay Ismoyo)
Selain melakukan pembiayaan terhadap sektor tersebut, pemerintah juga mengalokasikan belanja berupa transfer ke daerah. Pada pemerintahan sebelumnya, transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp 88 triliun. Sedangkan TKD periode 2015-2017 menjadi Rp 315,9 triliun.
ADVERTISEMENT
Menurut Sri Mulyani dana TKD seringkali tidak dihitung sebagau belanja produktif. Padahal dalam TKD, ada mandatori sebesar 25 persen untuk infrastruktur, 20 persen untuk pendidikan, 10 persen untuk kesehatan.
Untuk itu Sri Mulyani mengimbau semua pihak tidak hanya fokus pada tambahan utang. Namun juga melihat bahwa utang tersebut digunakan untuk sektor produktif. Menurut dia, utang kini bukan hanya untuk menopang belanja, tapi hanya suplemen. Sedangkan faktor utama penopang belanja adalah penerimaan pajak.
"Kalau belanja segitu banyak, apakah APBN tetap baik? Ya buktinya defisit makin kecil, berarti kami membelanjakan lebih banyak dari penerimaan perpajakan. Utang hanya suplemen, bukan yang utama. Penerimaan perpajakan kita jadi backbone perekonomian kita," tandasnya.