Sri Mulyani: Perempuan Kurang Berpartisipasi Ambil Kebijakan

5 Februari 2020 12:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan arahan pada acara Mandiri Investment Forum di Jakarta, Rabu (5/2). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan arahan pada acara Mandiri Investment Forum di Jakarta, Rabu (5/2). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi tantangan ekonomi 2019 masih akan berlanjut hingga tahun ini. Berbagai persoalan yang muncul yang berpengaruh pada fiskal dan moneter itu, tak lepas dari pengaruh perbuatan manusia sendiri.
ADVERTISEMENT
Ia menilai, kurangnya representasi perempuan sebagai pengambil kebijakan juga menjadikan masalah ekonomi di dunia itu terus berlangsung.
"Tantangan 2019 banyak berlanjut di 2020. Kebanyakan masalahnya adalah buatan manusia, saya ingin tekankan adjective 'man' terutama karena kurangnya perempuan yang ikut berpartisipasi dalam mengambil kebijakan," ujar Sri Mulyani dalam Mandiri Investment Forum 2020 di Hotel Fairmont Jakarta, Rabu (5/2).
Sri Mulyani mencontohkan, hal tersebut seperti yang terjadi pada perang dagang AS-China hingga kerusuhan di Bolivia.
"Jadi banyak bapak-bapak yang menciptakan masalah ini sehingga kurang representasi perempuan," katanya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) hadiri Mandiri Investment Forum di Jakarta, Rabu (5/2). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Ia menuturkan, tantangan ekonomi dunia ke depan adalah untuk menghadapi perlambatan. Hal itu tercermin dari Produk Domestik Bruto (PDB) global yang mencatatkan angka pertumbuhan yang tak mudah.
ADVERTISEMENT
Banyak negara yang kemudian mesti memutar otak untuk bisa mengambil kebijakan serta berupaya keras dalam menumbuhkan perekonomian.
"Sekarang atau satu dekade terakhir banyak negara yang tanda kutip kekurangan atau kehabisan amunisi, strategi untuk hadapi pelemahan ekonomi tersebut," ucapnya.
Terkait itu, Sri Mulyani mengatakan, Indonesia ke depan tidak lagi bisa hanya menggantungkan instrumen ekonomi makro fiskal dan moneter dalam menjalankan perekonomian. Namun, harus melakukan reformasi struktural.
"Karena dua hal pertama itu, tidak bisa support pertumbuhan ekonomi yang sehat, tidak cukup, jadi pada dasarnya kebutuhan utama adalah reformasi dan mempertahankan keberhasilan reformasi tersebut," ujar dia.