Sri Mulyani Waspadai Ekonomi RI Bisa Kembali Melambat di Kuartal IV 2022

9 November 2022 10:40 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan, Sri Mulyani memberikan keterangan pers terkait APBN Kinerja dan Fakta (Kita) Agustus 2019 di Kantor Kemenkeu. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan, Sri Mulyani memberikan keterangan pers terkait APBN Kinerja dan Fakta (Kita) Agustus 2019 di Kantor Kemenkeu. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut pertumbuhan ekonomi di kuartal III 2022 sebesar 5,72 persen menandakan mulai menguatnya pemulihan ekonomi. Namun, pihaknya mewaspadai adanya perlambatan di kuartal IV 2022.
ADVERTISEMENT
"Untuk pertumbuhan ekonomi di kuartal IV diperkirakan akan sedikit mengalami moderasi, terutama mempertimbangkan siklus perekonomian yang biasanya melambat di akhir tahun serta high base-effect di triwulan IV 2021," ujar Sri Mulyani dalam keterangannya, Rabu (9/11).
Meski demikian, secara keseluruhan tahun ini Sri Mulyani memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi berada pada kisaran 5,0-5,3 persen. “Jadi kalau pemerintah optimis, itu karena memang ada landasan objektifnya, yakni berbagai indikator ekonomi makro yang terus menguat, implementasi berbagai kebijakan yang cukup efektif untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional, pengelolaan APBN yang prudent, responsif dan efektif sebagai instrumen countercyclical sekaligus sebagai peredam gejolak sehingga keberlanjutan pemulihan ekonomi nasional dapat terus dijaga," jelasnya.
Dia melanjutkan, intervensi kebijakan pemerintah dilakukan baik dari sisi supply melalui berbagai insentif fiskal dan dukungan pembiayaan, bersinergi dengan otoritas moneter dan sektor keuangan, maupun dari sisi demand. Hal ini guna untuk mendukung daya beli masyarakat baik dalam bentuk berbagai program bansos, subsidi maupun pengendalian inflasi.
ADVERTISEMENT
Di tengah optimisme pemulihan yang terus berjalan, lanjut Menkeu, meningkatnya risiko ketidakpastian serta melemahnya prospek pertumbuhan global akibat konflik geopolitik perlu terus diantisipasi. PMI manufaktur global sudah mulai berada pada zona kontraksi dalam dua bulan terakhir.
Tekanan inflasi global yang berkepanjangan, khususnya di kawasan Eropa dan Amerika Serikat, akan memicu pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif yang berpotensi menimbulkan guncangan di pasar keuangan, khususnya di negara berkembang.
"Aliran modal ke luar meningkat dan menimbulkan tekanan besar pada nilai tukar lokal sebagaimana kita saksikan belakangan ini," pungkasnya.