Stafsus Sri Mulyani Jelaskan Alasan Pemerintah Mau Ubah Lagi APBN 2020

23 Mei 2020 11:27 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat penyampaian SPT elektronik di Kantor Dirjen Pajak, Jakarta, Selasa (10/3). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat penyampaian SPT elektronik di Kantor Dirjen Pajak, Jakarta, Selasa (10/3). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menjelaskan penyebab pemerintah akan kembali mengubah target defisit APBN 2020, dari 5,07 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 6,27 persen terhadap PDB.
ADVERTISEMENT
Nantinya, perubahan itu akan tertuang dalam revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020.
Yustinus bilang, dinamika perekonomian domestik menjadi salah satu hal yang diperhitungkan dalam mematok defisit APBN 2020 sebesar 6,27 persen. Pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2020 yang di bawah ekspektasi juga menjadi salah satu faktornya.
“Ada beberapa kondisi yang mempengaruhi dinamika APBN pasca April 2020: realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I 2020 hanya 2,97 persen, realisasi pendapatan negara April yang tumbuh tipis 3,2 persen tapi pajak melambat 3,1 persen. Di sisi lain, kita belum tau kapan pandemi berakhir, alokasi belanja sosial naik,” ujar Yustinus seperti dikutip kumparan dari laman Twitternya, Sabtu (23/5).
Selain itu, pemerintah juga menambah belanja untuk pemulihan ekonomi nasional. Hal ini, kata Yustinus, belum diperhitungkan dalam Perpres 54/2020.
ADVERTISEMENT
Secara rinci, tambahan dukungan kompensasi sebesar Rp 76 triliun untuk BUMN terkait layanan publik, subsidi bunga UMKM sebesar Rp 34 triliun, dan tambahan diskon listrik menjadi enam bulan sebesar Rp 3,5 triliun.
Selain itu, ada juga bantuan sosial (bansos) yang diperpanjang hingga Desember dengan tambahan Rp 19 triliun, cadangan stimulus Rp 40 triliun, serta biaya pemulihan yang meningkat Rp 25 triliun.
“Justru bagus kan buat rakyat?” tulisnya.
Yustinus Prastowo, Direktur CITA Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Dia juga menjelaskan, pelebaran defisit tersebut karena proyeksi pendapatan negara yang turun, bahkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) diperkirakan turun 29 persen dari tahun lalu. Sementara kebutuhan belanja meningkat pesat.
“Apalagi ini disampaikan setelah banyak pembahasan. Justru mengajak berjaga-jaga, antisipatif, dan transparan. Di mana salahnya? Bukankah keliru kalau tanpa prolog tetiba terbit Perpres revisi? Angka itu terbuka, bisa dibaca siapa pun dan secara matematis hasilnya juga akan sama,” katanya.
ADVERTISEMENT
Yustinus pun membantah anggapan jika Perpres 54/2020 dilakukan secara tergesa-gesa dan tanpa perhitungan matang.
“Coba bayangkan, di akhir Maret/awal April, kita belum tahu realisasi pertumbuhan kuartal I, semua baru mulai refocusing/realokasi anggaran, Pusat juga sedang menata belanja. Defisit 5,07 persen justified saat itu,” kata Yustinus.
Bahkan adanya anggapan bahwa pemerintah melakukan perubahan tersebut tanpa melalui DPR RI, hal itu dipatahkan oleh Yustinus.
Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 sebenarnya juga sudah memberikan kewenangan besar kepada presiden untuk mengubah postur APBN dengan Perpres saja.
“Namun pemerintah berkomitmen terus berkomunikasi dan diskusi dengan DPR, Komisi XI dan Banggar, dan berjalan dengan baik sampai saat ini. Ini penting diketahui,” katanya.
ADVERTISEMENT
“Inilah kenapa kemarin sempat ada sedikit kesalahpahaman yang tak perlu terjadi. Tapi semua sudah bisa dijernihkan. Menkeu sudah rapat dengan pimpinan Banggar & Kapoksi, minggu depan dengan Komisi XI. Ini masih mendiskusikan perkembangan angka dan skema, belum keputusan final berupa revisi Perpres 54,” tambahnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) berbicara pada pemaparan realisasi APBN 2020 di Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (19/2). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Sebelumnya, untuk menutup 5,07 persen, pemerintah membutuhkan pembiayaan utang ditargetkan Rp 1.006,4 triliun.
Untuk menambal defisit anggaran 6,27 persen, diperlukan tambahan pembiayaan Rp 175 triliun. Dalam Perpres 54/2020, pemerintah sebelumnya menetapkan pembiayaan utang sebesar Rp 1.006 triliun.
Sehingga dengan adanya postur yang baru, pembiayaan utang pemerintah tahun ini akan membengkak menjadi Rp 1.181 triliun.
Ada pun realisasi pembiayaan utang per April 2020 sudah mencapai Rp 223,8 triliun. Nilai ini naik 53,7 persen dari posisi April 2019 yang sebesar Rp 145,6 triliun.
ADVERTISEMENT
Realisasi pembiayaan utang per April 2020 itu setara dengan 22,2 persen dari target dalam Perpres 54/2020 yang sebesar Rp 1.006,4 triliun.
Secara rinci, realisasi Surat Berharga Negara (SBN) neto sebesar Rp 231,6 triliun, melesat 44,3 persen dari posisi April 2019 yang sebesar Rp 160,5 triliun. Sementara realisasi pinjaman neto mencapai negatif Rp 7,78 triliun per April 2020.
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
*****
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!