Stafsus Sri Mulyani Sebut Utang Masa SBY Meningkat, Demokrat Beberkan Penjelasan

9 April 2022 11:57 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Stafsus Sri Mulyani, Yustinus Prastowo. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Stafsus Sri Mulyani, Yustinus Prastowo. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani, Yustinus Prastowo, menyebutkan tren perkembangan utang pemerintah naik setiap tahunnya sejak reformasi, tidak terkecuali di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
ADVERTISEMENT
Dalam cuitannya di akun Twitter @prastow, Prastowo menjelaskan seluk beluk utang pemerintah, tidak hanya perkembangan nominal tapi juga alasan penarikan, pemanfaatan, dan pertanggungjawaban.
"Utang pemerintah memang mengalami peningkatan secara nominal dari era awal Reformasi, pemerintahan SBY, lalu masa pemerintahan Jokowi. Kelihatan sekali penambahan signifikan terjadi saat pandemi. Dari total Rp 4.247 T (Okt 2014-Des 2021), Rp 2.122 T atau 50 persen ditarik 2020-21," tulis Prastowo seperti dikutip kumparan dari akun Twitternya, Sabtu (9/4).
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Demokrat yang juga pernah menjadi Staf Pribadi SBY, Ossy Dermawan, memberikan tanggapan terhadap cuitan Yustinus mengenai peningkatan utang pemerintah di masa SBY.
Dia menjelaskan bahwa cuitan Yustinus untuk melihat peningkatan utang dalam bentuk nominal saja adalah sebuah perbandingan yang kurang adil. Dia pun membuat utas tandingan di akun @OssyDermawan, untuk menanggapi utas stafsus Sri Mulyani tersebut.
ADVERTISEMENT
"Saya menyampaikan kurang “adil” karena nominal utang yang dipaparkan setiap tahunnya akan terpengaruh oleh inflasi. Artinya, utang Rp 1 juta tahun 2022 ini tidak dapat diperbandingkan dengan utang Rp 1 juta tahun 2005 dulu, karena daya belinya pada tahun tersebut juga pasti berbeda," jelasnya.
Menurut dia, untuk menghilangkan efek inflasi dalam melihat perkembangan utang pemerintah, nilai utang harus dinyatakan dalam bentuk relatif dengan membagi besaran utang di tahun tertentu dengan suatu variabel lain di tahun yang sama.
Dia mencontohkan pembaginya adalah Produk Domestik Bruto (PDB) yang membentuk rasio utang terhadap PDB. Rasio tersebut, kata dia, merupakan indeks yang tidak dipengaruhi inflasi karena satuan pengukurannya rupiah.
Selain tidak dipengaruhi inflasi, menurut Ossy, rasio tersebut juga mengandung makna yaitu untuk menghasilkan Rp 1 PDB, berapa rupiah utang pemerintah yang digunakan. Dia pun mengeklaim rasio utang pemerintah SBY ada penurunan.
ADVERTISEMENT
"Debt-to-GDP ratio berhasil diturunkan oleh SBY dari sekitar 56 persen pada tahun 2004 menjadi sekitar 24 persen pada tahun 2014 (selama 10 tahun). Kalau sekarang Debt-to-GDP ratio tersebut naik lagi menjadi sekitar 40 persen, silakan rakyat menilainya," tutur dia.
Ossy pun melanjutkan, dengan rasio utang terhadap PDB yang rendah di masa pemerintahan SBY menunjukkan beban fiskal pemerintah untuk membayar bunga dan pokok utang jadi lebih kecil. Dengan begitu, besaran fiskal yang tersedia untuk mendorong ekonomi lebih besar.
"Itulah sebabnya (di antara beberapa penyebab lain) mengapa laju pertumbuhan ekonomi SBY lebih tinggi dibanding Jokowi. Karena, proporsi fiskal untuk membangun relatif lebih besar, sehingga hasilnya (laju pertumbuhan ekonomi alias GDP growth) di masa SBY lebih tinggi dibandingkan saat ini," tegasnya
ADVERTISEMENT
Adapun dia juga menyinggung bahwa Menteri Keuangan pemerintahan SBY dan Jokowi sama yaitu Sri Mulyani. "Lalu mengapa kinerja ekonominya berbeda? Jawabnya, to some extent, leadership matters," kata Ossy.
Ossy menegaskan, kepemimpinan SBY menyebabkan semua sektor bergerak, tidak hanya sektor khusus seperti infrastruktur. Dia menilai, struktur perekonomian di masa SBY pun lebih kokoh.
"Jika ada yang menyampaikan bahwa perekonomian kita saat ini menurun karena Covid, mungkin ada benarnya. Namun, data menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi RI sebelum pandemi pun sudah memiliki tren yang menurun atau paling tidak stagnan," tandasnya.