Starbucks Pangkas Proyeksi Penjualan Akibat Permintaan di Pasar AS & China Turun

1 Mei 2024 18:19 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Barista Starbucks memeriksa suhu badan pengunjung akibat virus corona di Beijing, China. Foto: REUTERS/Carlos Garcia Rawlins
zoom-in-whitePerbesar
Barista Starbucks memeriksa suhu badan pengunjung akibat virus corona di Beijing, China. Foto: REUTERS/Carlos Garcia Rawlins
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Starbucks (SBUX.O), pada hari Selasa, (30/4) memangkas perkiraan penjualan tahunannya setelah melaporkan penurunan penjualan. Perusahaan harus berjuang akibat lemahnya permintaan kopi di Amerika Serikat dan Tiongkok, yang merupakan dua pasar terbesarnya.
ADVERTISEMENT
Mengutip Reuters, saham perusahaan merosot 12 persen pada Selasa. Hal tersebut juga menandai adanya pukulan dari ketidakpastian geopolitik di Timur Tengah.
Starbucks memproyeksi pertumbuhan penjualan secara global maupun di AS akan berada dalam kisaran penurunan satu digit hingga datar selama setahun penuh, turun dari kisaran sebelumnya yaitu pertumbuhan 4 persen hingga 6 persen.
Ilustrasi logo Starbucks. Foto: ArtMediaWorx/Shutterstock
“Kuartal kedua akan menantang. Hambatan terus berlanjut sepanjang kuartal ini sehingga membuat kami mengubah tindakan dan rencana respons kami untuk membuka dan menarik permintaan,” kata CFO Starbucks, Rachel Ruggeri.
Merek-merek Barat seperti Starbucks dan McDonald's MCD.N juga merasakan dampak kampanye boikot di Timur Tengah dan negara-negara tertentu lainnya atas serangan militer Israel di Jalur Gaza.
Di AS, Starbucks menghadapi penurunan permintaan karena cuaca dingin di bulan Januari dan lingkungan makro yang tidak stabil membebani penjualan minuman mahalnya.
ADVERTISEMENT
Menurut data LSEG, penjualan global gerai kopi tersebut pada kuartal kedua turun 4 persen. Sebelumnya, banyak analisis yang memprediksi adanya kenaikan sekitar 1,44 persen.
Di dua pasar utamanya, penjualan Starbucks turun 11 persen di China dan 3 persen di Amerika Serikat.
"Kami masih melihat dampak dari pemulihan yang lebih lambat dari perkiraan, dan kami melihat persaingan yang ketat di antara para pemain nilai di pasar," kata CEO Starbucks, Laxman Narasimhan.