Strategi Anies Tekan Rasio Utang RI: Perluas Basis Wajib Pajak

8 Januari 2024 9:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Calon presiden nomor urut 01 Anies Baswedan menyampaikan gagasannya saat debat debat ketiga Pilpres 2024 di Istora Senayan, Kompleks GBK, Jakarta Pusat, Minggu (7/1/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Calon presiden nomor urut 01 Anies Baswedan menyampaikan gagasannya saat debat debat ketiga Pilpres 2024 di Istora Senayan, Kompleks GBK, Jakarta Pusat, Minggu (7/1/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Calon presiden nomor urut 1, Anies Baswedan, punya strategi khusus untuk menekan rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB). Salah satunya dengan memperluas basis wajib pajak guna mengurangi kebocoran pajak.
ADVERTISEMENT
"Memastikan bahwa ada perluasan wajib pajak yang diharapkan memperkuat GDP kita, di samping mengurangi kebocoran pajak," kata Anies dalam Debat Pilpres 2024, Minggu (7/1).
Anies menilai, perluasan basis wajib pajak sangat efektif untuk mengurangi level utang Indonesia hingga menyentuh 30 persen.
Di sisi lain, Anies juga akan mengelola utang dengan cara lebih kreatif dalam mencari skema utang. Misalnya dengan melibatkan pihak swasta.
"Yang tidak kalah penting adalah melakukan pengembangan skema-skema yang lebih kreatif dalam mencari utang luar negeri termasuk melibatkan swasta," ungkapnya.
Adapun, Bank Indonesia mencatat ULN Indonesia pada kuartal III 2023 turun dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Posisi ULN Indonesia pada akhir triwulan III 2023 tercatat sebesar USD 393,7 miliar, turun dibandingkan dengan posisi ULN pada akhir kuartal II 2023 yang mencapai USD 396,5 miliar.
ADVERTISEMENT
Penurunan posisi ULN ini terutama bersumber dari ULN sektor publik. Dengan perkembangan tersebut, ULN Indonesia secara tahunan mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 0,1 persen (yoy), melanjutkan kontraksi pada kuartal sebelumnya sebesar 1,2 persen (yoy).
Kemudian, ULN pemerintah juga tercatat mengalami penurunan dibandingkan dengan kuartal II. Posisi ULN pemerintah pada akhir kuartal III 2023 tercatat sebesar USD 188,3 miliar, turun dibandingkan dengan posisi triwulan sebelumnya sebesar USD 192,5 miliar, atau secara tahunan tumbuh sebesar 3,3 persen (yoy).
Utang luar negeri (ULN) merupakan akumulasi ULN pemerintah, bank sentral, swasta, lembaga keuangan, dan bukan lembaga keuangan. ULN lebih banyak menggunakan mata uang asing, seperti dolar AS dan yen Jepang.
Sementara untuk utang pemerintah, per November 2023 tercatat sudah tembus Rp 8.041 triliun atau naik Rp 487 triliun dari posisi November 2022 Rp 7.554 triliun. Rasio utang RI terhadap PDB per 30 November 2023 menjadi 38,11 persen, angka itu naik dari bulan sebelumnya yang di level 37,95 persen.
ADVERTISEMENT
Adapun utang pemerintah berbeda dengan ULN. Utang pemerintah didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) dengan mata uang rupiah atau domestik yakni 71,54 persen, sementara SBN dengan mata uang asing (valas) hanya 17,07 persen per November 2023.
Meski terus naik, namun pemerintah mengeklaim posisi utang masih aman. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Suminto, mengatakan sejumlah beberapa indikator yang mempengaruhi risiko utang.
"Di akhir November utang pemerintah Rp 8.041 triliun, namun tentu kita tidak sekadar melihat nominal, kalau kita melihat berbagai indikator portofolio utang kita, justru kinerja utang termasuk risiko utang kita itu lebih baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya,” kata Suminto dalam rilis APBN Kita di Kantor Kemenkeu Jakarta pada Selasa (2/1).
ADVERTISEMENT
Dari sisi indikator penting dalam melihat risiko utang, yaitu rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) atau debt to GDP ratio misalnya, Suminto bilang, ada perbaikan yang cukup signifikan.
“Per akhir November debt to GDP ratio kita 38,11m persen, turun dari posisi Desember 2022 39,7 persen, demikian pula turun dari puncak debt to GDP ratio di tengah pandemi pada posisi Desember 2021 sebesar 40,7 persen. Sekali lagi dari sisi debt to GDP ratio turun cukup besar di level 38,11 persen," jelas Suminto.
Demikian pula dari sisi indikator currency risk atau risiko nilai tukar, menurut Suminto, proporsi utang pemerintah dalam foreign currency tercatat menurun cukup drastis.
Lalu, indikator lain yang menurut Suminto terpantau aman adalah posisi refinancing risk atau rata-rata tenor dari utang pemerintah juga cukup panjang yaitu sekitar 8,1 tahun.
ADVERTISEMENT
“Demikian juga dari sisi market risk yang lain juga dari sisi risiko suku bunga itu mayoritas dari utang pemerintah itu sekitar 82 persen, juga mengeluarkan fix rate, sehingga tidak terlalu sensitif dengan pergerakan suku bunga yang ada di market,” papar Suminto.