Wawancara khusus Mendag

Subsidi Rp 100 Triliun, Bisakah Sejahterakan Petani?

3 Oktober 2022 12:17 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wawancara khusus kumparan bersama Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Wawancara khusus kumparan bersama Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
“Saya usulkan kemarin setahun pertama (subsidi) Rp 100 triliun disediakan untuk membeli hasil pertanian.”
ADVERTISEMENT
Pernyataan itu disampaikan Zulkifli Hasan tidak lama setelah menjalani 100 hari menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Bukan tanpa alasan bagi Ketua Umum PAN yang akrab disapa Zulhas tersebut mengusulkan ada anggaran besar untuk membantu para petani.
Zulhas menganggap selama ini persoalan yang dialami para petani selalu sama: tidak ada pembeli produk pertanian saat masa panen tiba. Usulan ini muncul menurut pengakuannya, berdasarkan pengalaman pribadi yang dihadapi dulu sebagai keluarga petani.
“Dulu zaman saya berusia 6 tahun, bapak saya sudah menanam kedelai, kacang tanah, singkong. Penyakitnya itu sama, misal waktu tanam agak bagus, waktu panen enggak ada yang beli,” kata Zulhas saat wawancara khusus dengan kumparan di Kantor Kementerian Perdagangan.
Zulhas mengungkapkan, kondisi tersebut membuat para petani memilih menjual lahan atau sawah yang dimilikinya. Menurutnya, mereka lebih memilih jadi buruh tani dan bertahan dengan cara mengandalkan bantuan langsung tunai (BLT) atau subsidi yang disiapkan pemerintah.
ADVERTISEMENT
“Rata-rata petani itu, mereka petani tapi mereka beli beras. Mereka petani tetapi beli cabai. Ini kita belajar dari pengalaman negara-negara lain petaninya makmur, kita kan juga mau menuntaskan kemiskinan, mau petani kita juga makmur, sehingga produktivitasnya tinggi,” ujar Zulhas.
Mendag Zulhas berdialog dengan anggota Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Lampung, Sabtu (9/7/2022). Foto: Kementerian Perdagangan
Zulhas menyebut beberapa negara yang petaninya makmur dan produksinya tinggi seperti di Thailand, Vietnam, dan China. Ia mengatakan para petani di negara tersebut produktivitasnya tinggi karena fokus melakukan produksi dan tidak bingung mengenai pemasaran.
Hasil pertanian langsung dibeli oleh pemerintah dengan harga untung. Sehingga para petani dipastikan tidak mengalami kerugian saat masa panen tiba. Menurutnya, praktik tersebut bisa diterapkan di Indonesia.
Misalnya, jagung dari petani dibeli dengan harga Rp 6.500 per kilo. Pemerintah bisa menjual lagi di harga pasar atau ke para pengusaha di Rp 5.000 per kilo atau Rp 4.500 per kilo. Artinya, ada subsidi Rp 1.500 sampai Rp 2.000 per kilo.
ADVERTISEMENT
“Maka petaninya akan makmur subsidinya sedikit. Nah ini nanti dibeli oleh pengusaha-pengusaha kita di sini dengan harga pasar,” terang Zulhas.
Apabila jagungnya masih lebih, pemerintah bisa mengekspornya. Apalagi, kata Zulhas, sudah pasti banyak negara yang mau membeli jagung dari para petani di Indonesia.
Zulhas menegaskan, cara ini akan membuat petani Indonesia bisa lebih fokus memaksimalkan produksi karena pemasaran sudah dijamin pemerintah. Untuk itu, ia mengusulkan agar subsidi Rp 100 triliun untuk membeli hasil pertanian bisa segera direalisasikan.
“Oleh karena itu kemarin saya bahagia sekali, Presiden (Jokowi) sudah menyampaikan kepada para menterinya, ini negara harus membantu petani, (petani) jangan memikirkan lagi pemasaran. Oleh karena itu, produk pertanian harus dibeli oleh pemerintah. Saya usulkan kemarin setahun pertama Rp 100 triliun disediakan untuk membeli hasil pertanian,” ujar Zulhas.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Zulhas mengakui permasalahan tak otomatis bisa selesai dengan membeli hasil pertanian. Hal lain yang tak kalah penting dengan anggaran tersebut adalah mendorong produktivitas para petani.
Zulhas mencontohkan, saat ada petani yang menanam kedelai di lahan 1 hektar. Luas lahan tersebut kalau hanya menghasilkan 2 ton kedelai dan dijual per kilonya seharga Rp 5.000, maka petani akan rugi karena penghasilan berkisar di angka Rp 10 juta.
Kondisi itu belum ditambah dengan sewa lahan yang menurut Zulhas di Pulau Jawa bisa mencapai Rp 20 juta per tahun. Sehingga selain dibeli hasil panennya, pemerintah harus membantu menggenjot produktivitas para petani dengan memberikan bibit yang terbaik termasuk Genetically Modified Organism (GMO).
“Nah kalau dijamin oleh pemerintah yang beli, kedelai beli Rp 10.000 (per kilo) masih rugi karena produktivitasnya cuma 2 ton, 1 hektar. Gimana caranya? Kalau produktivitasnya akan naik, kalau bibitnya bagus. Maka pemerintah bantu dong bibit yang unggul yaitu ada di GMO,” terang Zulhas.
ADVERTISEMENT
“Oh GMO juga boleh loh. Yang kita makan itu hasil GMO. Oleh karena itu kita meminta bibitnya GMO untuk petani sehingga kedelai itu tidak 1 hektar (hasilnya) 2 ton, bisa 8 ton atau 6 ton. Kalau 6 ton dikali Rp 10.000 (jadi) 60 juta, berebutan, gitu. Jadi memang negara harus hadir di tengah para petani,” tambahnya.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dalam acara penjualan bahan pokok secara digital di Pasar Tomang, Jakarta, Kamis (18/8/2022). Foto: Narda Margaretha Sinambela/kumparan
Zulhas memastikan semua produk pertanian termasuk cabai juga harus dicarikan solusinya. Ia menyebut kalau cabai tidak segera dibeli, maka banyak yang busuk dan harganya menjadi hancur. Menurutnya, cabai yang dibeli pemerintah dan tidak laku dijual lagi bisa dikeringkan.
Pemerintah juga harus siap mengekspor ke banyak negara, meskipun seandainya ada kemungkinan sedikit merugi. Selain itu, Zulhas mengatakan pemerintah juga harus punya pendingin raksasa untuk menyimpan produk pertanian, khususnya cabai.
ADVERTISEMENT
Zulhas menegaskan semua niat tersebut bisa maksimal kalau ada anggaran Rp 100 triliun yang untuk membeli produk petani.
“Maka saya usulkan agar ada dasar Rp 100 triliun ditugaskan beliau (Jokowi) untuk petani, baru petani itu nyaman. Dibantu bibit, hasil dibeli, mereka produksi terus. Orang kita tuh rajin-rajin, maka nanti kita bisa jadi jagung nggak perlu impor lagi, mungkin juga kedelai, mungkin juga yang lain-lain,” tegas Zulhas.
Lantas, dari mana anggaran Rp 100 triliun tersebut berasal? Menurutnya, perkara dana tidak bisa mengandalkan dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) semata. Ia ingin BUMN bisa ikut berperan. Selain itu, para bupati atau wali kota juga bisa menyisihkan anggarannya untuk membeli produk pertanian.
“Bukan Kemendag. Kemendag anggarannya hanya Rp 2 triliun. Saya harap lebih cepat, lebih bagus. Ini kan antar kementerian ya, usul, presiden setuju. Pelaksanaannya tentu harus duduk lagi, gitu,” terang Zulhas.
ADVERTISEMENT

Impor Gas UEA agar Harga Pupuk Petani Murah

Tak hanya membeli produk pertanian, Zulhas juga mau menyelesaikan persoalan mahalnya harga pupuk yang harus dibeli para petani. Ia menjelaskan mahalnya harga pupuk tidak terlepas dari harga gas yang juga sedang tinggi.
Zulhas mengungkapkan, Menteri BUMN Erick Thohir saat ini sedang berupaya mendapatkan harga minyak yang lebih murah dari Uni Emirat Arab (UEA).
“Akhirnya dapat dari UEA USD 6. Tetapi harus dikirim ke Iskandar muda, Aceh, untuk diubah menjadi pupuk. Kalau itu bisa terjadi, itu agar membuat harga pupuk kita stabil. Karena gasnya USD 6,” terang Zulhas.
Zulhas tidak merinci berapa banyak gas yang akan diimpor. Namun, ia memastikan apabila impor tersebut bisa direalisasikan, akan cukup untuk memproduksi pupuk di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Di lain sisi, Zulhas juga masih menunggu surat persetujuan dari Menteri ESDM untuk merealisasikan impor tersebut. Ia menginginkan agar surat persetujuan itu cepat keluar, sehingga upaya membantu meringankan beban petani terkait mahalnya harga pupuk.
“Pokoknya itu kalau kita dapat itu harganya bisa USD 6, dalam negeri kan bisa USD 10 ya. Jadi pupuk harganya bisa murah. Kalau pupuk murah kan mereka (petani) lumayan nggak terbebani,” tutur Zulhas.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten