Sudah Dapat Kelonggaran, Kok Banyak Penambang Nikel Tak Bikin Smelter?

23 Agustus 2019 11:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengolahan nikel jadi feronikel di Antam, Kendari. Foto: Ema Fitriyani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pengolahan nikel jadi feronikel di Antam, Kendari. Foto: Ema Fitriyani/kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah berencana untuk menutup sepenuhnya ekspor bijih nikel mulai Oktober 2019. Sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 (PP No.1/2017), pemerintah mengizinkan ekspor bijih nikel dengan kadar di bawah 1,7 persen sampai 2022.
ADVERTISEMENT
Setelah ekspor bijih nikel ditutup, hanya hasil pemurnian dari nikel (feronikel dan nikel matte) yang boleh diekspor. Tak ada lagi ekspor barang mentah yang tak bernilai tambah. Hal ini dilakukan untuk mendorong hilirisasi mineral di dalam negeri.
Kebijakan ini sejalan dengan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang melarang ekspor mineral mentah.
Namun rencana pemerintah ini diprotes oleh Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI). Mereka menilai pemerintah tidak konsisten dalam menjalankan aturan yang dibuat sebelumnya, yaitu penetapan waktu larangan ekspor pada 2022.
Sekjen APNI, Meidy Katrin Lengkey, mengatakan bahwa pihaknya masih membutuhkan uang dari hasil ekspor bijih nikel untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel. Masih banyak penambang nikel yang belum menyelesaikan pembangunan smelter.
ADVERTISEMENT
"Yang kami minta pemerintah untuk komitmen, karena kami sedang lakukan pembangunan modalnya itu dari kuota ekspor," kata dia saat dihubungi kumparan, Kamis (22/8).
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy K Lengkey. Foto: Nurul Nur Azizah/kumparan
Sebenarnya kewajiban untuk memurnikan mineral telah diatur dalam UU Minerba yang terbit 10 tahun lalu. Bahkan seharusnya larangan ekspor mineral mentah, termasuk untuk bijih nikel, diberlakukan sejak 2014. Pemerintah telah memberi kelonggaran pada 2017 sampai sekarang. Lalu mengapa masih banyak penambang nikel yang belum menjalankan kewajibannya memurnikan hasil tambang?
Meidy menyebut, selama ini bukan hanya soal modal membangun smelter yang jadi kendala. Namun juga proses birokrasi tata niaga yang menurut pandangannya masih diselimuti hambatan. "Prosesnya (birokrasi) enggak sebentar," kata dia.
Hal itulah, yang juga jadi sebab mengapa pihaknya seringnya memilih mengekspor nikel ore (mentah) dibandingkan menjualnya ke smelter di pasar domestik. Pertama, soal harga yang dinilai lebih menguntungkan.
ADVERTISEMENT
"Kenapa kita mau ekspor, karena harga ekspor lebih enak, lebih untung dengan kadar rendah, harga lokal harga enggak manusiawi kalau kita bilang kasarnya. Harga lebih rendah, kadar lebih tinggi," sebutnya.
Pihaknya mengatakan saat ini masih terus mengupayakan pemerintah konsisten dengan kesepakatan aturan pemerintah. Yaitu, PP No. 1/2017 tentang perubahan keempat atas PP 23/2010 terkait Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Sementara di sisi lain, pendapat berbeda datang dari Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I). Pendiri AP3I Jonatan Handojo mengungkapkan, larangan ekspor nikel memang perlu dipercepat.
Menurutnya, pelonggaran ekspor nikel tak akan membuat penambang-penambang kecil membangun smelter. Nyatanya, harga bijih nikel tak sebanding dengan biaya investasi untuk membangun smelter.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, sampai kapan pun penambang-penambang itu tak akan membangun smelter meski ekspor nikel sudah dilonggarkan. Relaksasi ini hanya akal-akalan dari para penambang nikel kecil yang ingin terus-terusan menjual barang mentah.
"Harga nikel itu USD 22 per ton, biaya bangun smelter USD 100 juta. Mau ekspor bijih nikel berapa banyak? Kan enggak masuk akal. Itu (jual bijih nikel untuk biaya bangun smelter) alasan saja. Akal-akalan pengusaha yang enggak punya uang untuk bikin smelter. Sekarang sudah dilonggarkan, enggak ada smelternya kan? Mereka cuma jual tanah air (bijih nikel) saja," ujar Handojo kepada kumparan.
Ilustrasi tambang nikel. Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan
Soal harga jual nikel ke smelter di dalam negeri yang dinilai terlalu murah, Handojo menjelaskan bahwa pihaknya sudah membeli sesuai dengan harga internasional, patokannya adalah harga di London Metal Exchange (LME).
ADVERTISEMENT
Harga nikel di LME memang kadang berbeda dengan Harga Mineral Logam Acuan (HMA) yang dibuat Kementerian ESDM. Kadang HMA nikel lebih tinggi dari harga di LME. Hal itu terjadi karena HMA tak setiap saat mengikuti harga di pasar internasional. Solusinya, kata Handojo, HMA harus lebih update mengikuti harga internasional.
"Patokan harga dari Kementerian ESDM harus berubah tiap minggu, patokannya harus update," tutupnya.