Survei Citiasia: Kinerja OJK Buruk

28 Januari 2020 16:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Focus Group Discussion "Kinerja OJK di Tengah Krisis Jiwasraya" di Aromanis Resto, Jakarta, Selasa (28/1).
 Foto: Nurul Nur Azizah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Focus Group Discussion "Kinerja OJK di Tengah Krisis Jiwasraya" di Aromanis Resto, Jakarta, Selasa (28/1). Foto: Nurul Nur Azizah/kumparan
ADVERTISEMENT
Survei Citiasia bekerja sama dengan Biro Riset Infobank melaporkan hasil riset terkait kinerja Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selama delapan tahun terakhir dalam menjalankan tugas yang masih dinilai buruk.
ADVERTISEMENT
Riset bertajuk “Studi Penguatan Industri Keuangan: Perspektif Industri Terhadap Regulator” tersebut, menyoroti kinerja OJK dalam menjalankan fungsi pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan perlindungan konsumen.
Direktur Riset Citiasia Achmad Yunianto mengatakan, kinerja itu menyangkut kompetensi tenaga pengawas dan pemeriksa dalam penguasaan aspek bisnis dan lingkungan bisnis industri, objektivitas, serta kemampuan risk balancing serta inovasi dalam menjalankan tugas.
Lebih lanjut, ia menjelaskan lima fungsi utama OJK yang disurvei, yakni (1) fungsi pengaturan dan pengawasan kelembagaan, (2) fungsi pengaturan dan pengawasan kesehatan, (3) fungsi pengaturan dan pengawasan kehati-hatian, (4) fungsi pemeriksaan, dan (5) fungsi perlindungan konsumen.
Survei yang dilakukan pada rentang tanggal 28 November hingga 11 Desember 2019 itu, menggunakan metode purposive sampling. Sementara jumlah respondennya sebanyak 182 responden level manajer ke atas, yaitu terdiri dari 114 industri perbankan, lembaga pembiayaan (multifinance), asuransi, dan lembaga jasa keuangan khusus.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, indeks persepsi kinerja pengaturan dan pengawasan kelembagaan secara keseluruhan sebesar 63,2 persen, pengaturan dan pengawasan kesehatan 59,3 persen, pengaturan dan pengawasan kehati-hatian 66,5 persen, pemeriksaan 59,9 persen, dan perlindungan konsumen 58,8 persen.
“Jika dihitung secara keseluruhan, indeks kinerja OJK sebesar 59,3 persen,” ujar Achmad Yunianto dalam pemaparan hasil survei di Aromanis Resto, Jakarta, Selasa (28/1).
Focus Group Discussion "Kinerja OJK di Tengah Krisis Jiwasraya" di Aromanis Resto, Jakarta, Selasa (28/1). Foto: Nurul Nur Azizah/kumparan
Ia melanjutkan, dengan sebesar indeks 59,3 persen berdasarkan rate nilai yang digunakan dalam survei ini, terbilang buruk. Diketahui, rate-nya, indeks 0-50 persen nilainya E atau sangat buruk, 50-60 persen nilainya D atau buruk, 60-75 persen nilainya C atau cukup baik, 75-90 persen nilainya B atau baik, dan 90-100 persen nilai A atau sangat baik.
ADVERTISEMENT
Jika ditelisik lebih dalam, industri multifinance menjadi industri paling rendah dalam memberikan indeks penilaian atas kinerja OJK, yakni sebesar 55,3 persen. Disusul perbankan 55,3 persen, lembaga jasa keuangan khusus 63,3 persen, dan asuransi 65,2 persen.
Selain rapor secara keseluruhan atas kinerja OJK, ada dua temuan menarik dari survei kali ini. Pertama, terkait dengan iuran yang dibebankan OJK. Kelompok perbankan memiliki porsi yang berkeberatan paling tinggi (53,3 persen) dibanding kelompok lainnya, seperti asuransi (37 persen), lembaga pembiayaan (37 persen), dan lembaga keuangan khusus (49 persen).
“Alokasi yang dirasa belum berdampak nyata dan positif menjadi alasan utama mereka yang mengaku berkeberatan. Ketika dibandingkan dengan pengawasan Bank Indonesia (BI) terhadap perbankan di masa sebelumnya, bankir yang setuju sedikit lebih banyak (55 persen) dibanding bankir yang tidak setuju (45 persen),” terangnya.
ADVERTISEMENT
Kedua, terkait regulator yang menjalankan fungsi pengawasan perbankan. Industri perbankan mayoritas menginginkan fungsi pengawasan perbankan dikembalikan ke BI. Dari total responden, yang setuju pengawasan kembali ke BI sebanyak 53,4 persen. Sementara, yang setuju tetap dijalankan oleh OJK sebanyak 46,6 persen.
Pihak yang setuju pengawasan dikembalikan ke BI berpendapat, dengan memberdayakan dua regulator, yakni BI dan OJK, dirasa kurang efektif.
“Utamanya ketika Bank Sentral selaku pengampu target moneter ingin mentransmisikan kebijakan moneter,” sambung Achmad.
Sementara, pihak yang setuju pengawasan tetap di OJK berpendapat, perekonomian nasional memerlukan adanya sinkronisasi antara pemerintah sebagai pengendali kebijakan fiskal, BI sebagai pengendali kebijakan moneter, dan OJK sebagai pengendali pelaksanaan pengaturan industri.
Temuan studi ini menunjukkan, di antara kelima tugas OJK, bagi industri pengaturan dan pengawasan kesehatan, serta pemeriksaan menjadi prioritas perbaikan, kemudian diikuti perlindungan konsumen.
ADVERTISEMENT
Selain itu, riset itu juga mengungkap, OJK masih lemah dalam penguasaan aspek dan lingkungan bisnis industri berkontribusi terhadap lemahnya kompetensi dan konsistensi pengawas, serta kemampuan pengawas dalam menciptakan keseimbangan antara pengelolaan risiko dan pengembangan industri.
“Hal ini juga ditengarai mengakibatkan relatif lemahnya mekanisme sistem dalam mendeteksi potensi penyimpangan yang dapat merugikan konsumen,” ujar Achmad.
Sementara edukasi dan sosialisasi sebagai upaya preventif yang dipandang masih kurang intensif, turut meningkatkan risiko bagi konsumen. Di sisi lain, absennya road map pengembangan industri menyebabkan upaya pengembangan industri masih dirasakan belum terstruktur, cenderung reaktif, dan belum mendapatkan porsi yang memadai.
Perbaikan dan pengembangan industri yang dibarengi dengan pengelolaan risiko yang berimbang sebaiknya dilakukan dengan membentuk Dewan Pengawas OJK yang mampu menampung, menyuarakan, dan mensinergikan kepentingan para pemangku kepentingan industri.
ADVERTISEMENT
"Sehingga, desain road map, proses transformasi, dan monitoring industri keuangan nasional dapat dilakukan secara lebih cepat dan efektif," ujarnya.