Tak Cuma Gaji, Talenta IT Pilih Kerja di Luar Negeri karena Jakarta Rawan Banjir

2 Maret 2021 10:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pekerja IT. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pekerja IT. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Sudah lebih dari setahun Yosua Michael Maranatha memutuskan bekerja di Singapura. Salah satu talenta Indonesia di bidang informasi dan teknologi (IT) ini, sekarang bekerja sebagai Lead Data Scientist Grab di kompleks Marina One.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Yosua juga sempat malang melintang di sejumlah perusahaan rintisan di Jakarta. Namun, pemuda asal Yogyakarta ini memutuskan kembali lagi ke negara tetangga.
Peluang untuk menimba ilmu di bidang IT yang lebih banyak, jadi alasan pertama dia memutuskan balik ke luar negeri. Dari pengalamannya bekerja di kedua negara, kesempatan mengasah skill lebih terbuka lebar di Singapura.
"Dari segi opportunity lebih banyak di luar negeri. Di dalam negeri memang sudah ada lah kayak beberapa startup, tapi kebanyakan basisnya cuma early internet menurutku," cerita Yosua kepada kumparan, Selasa (2/3).
Di sisi lain, kata Yosua, tak dinafikan tawaran benefit di luar lebih menggiurkan. Meskipun soal benefit ini ketimpangannya sudah tak berjarak terlalu jauh buat talenta yang sudah profesional, hanya untuk tenaga fresh graduate saja yang masih sangat jauh.
ADVERTISEMENT
Belum lagi perbedaan ekosistem IT yang sangat mencolok. Ia mengakui ekosistem yang terbentuk di tanah air terbilang masih sangat baru. Lainnya yakni kesempatan untuk bertemu para pakar, plus iklim kerja dengan rekan-rekan dari berbagai negara.
"Kalau kamu kerja di Indonesia, kamu bakal terasa banyak hal yang masih banyak trial and error. Jadi masih banyak adopsi dan susah juga ketemu expert yang kamu bisa belajar," tutur Yosua.
"Di Singapura, kerja bareng orang India, Vietnam, Eropa, Jepang, jadi dari segi diversity itu ketemu banyak orang. Dan dari sana juga bakal ngerasa itu kompetisi masuk perusahaan juga lebih banyak," sambung lulusan National University of Singapore ini.
Di luar alasan tersebut, tingkat kenyamanan hidup juga menjadi pertimbangan lainnya. Bekerja di Jakarta ia mesti terbiasa dengan segala persoalan lingkungan yang ada.
Petugas mengevakuasi korban banjir di Jakarta. Foto: Instagram/@aniesbaswedan
Mulai dari banjir yang kerap terjadi saat musim hujan tiba, hingga persoalan kemacetan yang memang sudah jadi pemandangan sehari-hari di ibu kota negara.
ADVERTISEMENT
"Yang lain itu masalah kalau kotanya lebih enak untuk hidup juga. Aku pernah di Jakarta, masih ada macet lah, terus kadang banjir ini masalah kalau orang mau settle itu agak mikir dulu. Aku mau kerja jangka panjang itu juga cari kota yang nyaman buat hidup," pungkasnya.
Keputusan memilih ekosistem IT di luar negeri ini bahkan tak cuma terjadi di kalangan pekerja, namun juga perusahaan. Sejumlah perusahaan besar tanah air tercatat memiliki pusat litbang di luar negeri.
Sebut saja Gojek misalnya, salah satu unicorn Indonesia ini memiliki pusat pengembangan di Bangalore, India. Kawasan ini memang disebut-sebut sebagai pusat teknologi mirip-mirip Silicon Valley di Amerika Serikat.
Di tahun 2021 ini, perusahaan di bidang teknologi kesehatan, Halodoc, juga berencana melebarkan sayap ke luar negeri. Mereka merencanakan buat memperkuat teknologi dan bisnisnya di luar Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Jadi dari segi IT ini sudah pasti (pengembangan), karena pada akhirnya kami adalah tech company. Teknologi itu di luar sana ada apa, negara lain melakukannya seperti apa, baik dari cara medical record yang lebih rapi karena di negara kita itu masih merupakan tantangan. Saya ngobrol dengan kolega dari Swiss, di situ sudah rapi banget," pungkas Chief Marketing Officer Halodoc, Dionisius Nathaniel.