Tak Diajak Diskusi Omnibus Law, Dewan Pers Kirim Surat ke Pemerintah dan DPR

18 Februari 2020 19:45 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Ketua DPR RI Puan Maharani dan menteri lainnya, menunjukkan draf Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Ketua DPR RI Puan Maharani dan menteri lainnya, menunjukkan draf Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Dewan Pers bakal melayangkan surat keberatan ke pemerintah dan DPR RI karena tak diajak berdiskusi mengenai usulan perubahan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam draf UU Sapu Jagat atau Omnibus Law Cipta Kerja (Cika).
ADVERTISEMENT
Usulan yang dimaksud adalah pemerintah membuka ruang asing berinvestasi di industri media nasional. Hal itu tertulis dalam pasal 87 mengenai pers yang mengubah pasal 11 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers berbunyi "Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal". Dalam draf tersebut, pemerintah bakal membuat ruang asing.
Anggota Dewan Pers sekaligus Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Agung Dharmajaya mengatakan, surat tersebut bakal dikirim ke mereka secepatnya. Sebab, apa pun rencana pemerintah seharusnya melibatkan masyarakat pers di dalamnya.
"Secepatnya kami akan bersurat terkait keberatan kita," kata dia saat dihubungi kumparan, Selasa (18/2).
Infografik Omnibus Law. Foto: Kiagoos Aulianshah/kumparan
Agung mengatakan, isi surat keberatan itu nantinya juga akan memuat sikap Dewan Pers. Untuk mengambil sikap, Dewan Pers bakal menggelar rapat pleno dengan semua anggota besok, Rabu (19/2).
ADVERTISEMENT
Meski begitu, secara pribadi, Agung yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Asosiasi Televisi Lokal Indonesia mengaku secara konsep menerima usulan pemerintah memberi ruang asing untuk investasi. Sebab, tak bisa dipungkiri pelaku usaha membutuhkan modal dari mitra untuk menjalankan bisnis media.
Akan tetapi, dia keberatan pada poin baru pasal 11 yang menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. Kendali pusat dalam industri ini bakal menimbulkan adanya monopoli.
Seharusnya, kata dia, investor termasuk asing boleh menyuntikkan dana ke perusahaan media nasional dengan mengikuti aturan penanaman modal yang sudah ada di dalam negeri.
"Seyogyanya pengembangan usaha pers itu melalui penanaman modal, jadi tidak dalam posisi pemerintah pusat yang mengembangkan bisnis. Kalau begitu, peran pemerintah daerah bagaimana? Ini kan akan jadi monopoli," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Kuasa pemerintah pusat dalam mengatur bisnis ini, kata dia, juga menimbulkan kekhawatiran bakal menggangu kebebasan pers. Karena itu, penting untuk menegaskan aturan lain untuk memagari hal tersebut mengacu pada aturan-aturan yang sudah ada.
Anggota Dewan Pers Arif Zulkifli mengatakan, usulan aturan tersebut berpotensi melanggar kebebasan pers. Sebab, dalam UU Pers yang selama ini menjadi pegangan pegiat pers mempunyai aturan turun berupa Peraturan Dewan Pers, bukan Peraturan Pemerintah yang dibuat Dewan Pers bersama stakeholder.
"Poinnya bukanlah pada perubahan porsi asing dalam UU baru melainkan pada kemungkinan peraturan pemerintah mengubah UU Pers. Ini bertentangan dengan prinsip self regulatory yang selama 20 tahun ini dijalankan masyarakat pers," katanya.
Arif mengatakan, dalam membuat usulan tersebut di Omnibus Law, pemerintah tak mengajak Dewan Pers. Padahal, perubahan UU Pers harus melibatkan komunitas pers dan tak melanggar prinsip self regulatory.
Plt. Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal BKPM Yuliot (kanan) dan Direktur Fasilitas Promosi Daerah BKPM Indra Darmawan (kiri). Foto: Selfy Momongan/kumparan
Dihubungi terpisah, Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) Yuliot mengatakan, karpet merah bagi investasi asing di industri media bertujuan agar berdampak pada ekonomi nasional.
ADVERTISEMENT
"Kalau ada pembatasan itu, manfaat ekonominya tidak dapat. (Kalau asing masuk) lapangan cipta kerja terbuka, perusahaan bayar pajak. Jadi ini untuk kepentingan nasional," kata Yuliot saat dihubungi kumparan.
Saat ini, kata dia, pemerintah memperbolehkan asing memiliki saham 20 persen dalam sebuah perusahaan media. Itu pun investasi yang dibuka pemilik perusahaan saat medianya sudah beroperasi. Sementara modal awal dalam pendirian media berasal dari dalam negeri atau Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Diakuinya, dalam draf Omnibus Law Cika memang belum ditentukan berapa besar porsi asing boleh masuk. Kalau pun jadi, kata Yuliot, mungkin saja di atas 20 persen, belum tentu dominan. Menurutnya, usulan perubahan UU Pers ini masih akan dibahas oleh pemilik media dan perwakilannya serta DPR RI, termasuk tentang independensi media jika dipegang asing.
ADVERTISEMENT