Tak Ingin Mengulang Kasus BLBI, BI Ogah Cetak Uang Berlebih

30 April 2020 14:35 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo saat menyampaikan keterangan pers melalui live streaming. Foto: Dok. Bank Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo saat menyampaikan keterangan pers melalui live streaming. Foto: Dok. Bank Indonesia
ADVERTISEMENT
Bank Indonesia (BI) mengindikasikan tak akan mencetak uang berlebih demi menambah dana atau likuiditas di perbankan maupun untuk menambal defisit anggaran pemerintah.
ADVERTISEMENT
Metode pencetakan uang berlebih oleh bank sentral disebut dengan Modern Monetary Theory (MMT). Saat ini, bank sentral AS atau The Fed juga didorong untuk melakukan MMT demi menambal defisit fiskal.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, BI lebih memilih melakukan kebijakan moneter lainnya demi menambah likuiditas. Seperti menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) hingga membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
"Esensinya beda dengan pencetakan uang. Kalau pencetakan uang, bank sentral menambah uang beredar, tapi tidak mampu menyerap kalau nanti kelebihan likuiditas," ujar Perry dalam diskusi virtual dengan Komisi XI DPR RI, Kamis (30/4).
Perry menjelaskan, bank sentral tak ingin mengulang kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat 1998. Hal ini menyebabkan inflasi tinggi hingga 67 persen.
ADVERTISEMENT
"Waktu BLBI dulu, salah satunya BLBI-nya kan bank sentral mengedarkan uang, penggantinya dikasih surat utang pemerintah, surat utang pemerintahnya tidak kredibel, tidak kredibel karena suku bunganya mendekati nol, kemudian inflasinya naik, bank sentral tidak menyerap surat utang pemerintah, likuiditas, di tahun 98-99 inflasinya 67 persen, itu yang disebut pencetakan uang," jelasnya.
Untuk mencegah hal tersebut kembali terjadi, BI kini mengambil langkah perluasan operasi moneter demi menambah likuiditas.
Selama Januari hingga April 2020, BI telah menggelontorkan Rp 503,8 triliun melalui langkah quantitative easing guna mencukupi ketersediaan likuiditas perbankan di tengah pelemahan ekonomi akibat Pandemi COVID-19.
"Beda dengan yang kita lakukan sekarang, operasi moneter dalam mengelola likuiditas di perbankan supaya cukup. Itu yang kami sebut dengan quantitative easing," kata Perry.
Karyawan menghitung uang rupiah dan dolar AS di Bank Mandiri Syariah, Jakarta, Senin (20/4/2020). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Saat ini, Perry melanjutkan, pembiayaan melalui SBN juga dilakukan secara hati-hati atau prudent. Imbal hasil SBN juga tak boleh lebih rendah dari biaya operasi moneter.
ADVERTISEMENT
"Yield SBN enggak boleh lebih rendah dari biaya operasi moneter dan harus kredibel sekarang perlu digelontorkan. Tahun depan kelebihan kami juga harus menyerap. Itu adalah kaidah-kaidah yang prudent, masalah beda cetak uang dengan quantitative easing," tambahnya.
Sebelumnya, Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri juga menyebut BI memiliki ruang untuk mencetak uang berlebih demi menambal defisit anggaran pemerintah dalam APBN 2020. Namun hal ini bisa dilakukan secara terbatas.
"Bisa lakukan, tapi jumlahnya terbatas,” kata Chatib Basri dalam video conference, Selasa (21/4).
Meski demikian, pencetakan uang berlebih akan berdampak pada tingginya inflasi. Terlebih saat ini, produksi atau suplai mengalami penurunan, sementara permintaan akan tinggi.
“Karena jangan lupa, tadi saya bilang bahwa dalam kondisi sekarang itu produksi juga turun, jadi dari sisi suplainya turun. Kalau kita cetak uang itu kan berarti kita tambah demand, kalau kita tambah demand, pada saat suplai turun yang terjadi adalah inflasinya naik,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
*****
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!