Tak Pakai BBM Subsidi, Industri Mamin Santai Hadapi Kenaikan Pertalite

30 Agustus 2022 16:58 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua GAPMMI Adhi S Lukman dalam acara Press Conference Fi Asia 2022 di Hotel Century Park Senayan, Selasa (30/8/2022). Foto: Narda Margaretha Sinambela/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua GAPMMI Adhi S Lukman dalam acara Press Conference Fi Asia 2022 di Hotel Century Park Senayan, Selasa (30/8/2022). Foto: Narda Margaretha Sinambela/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemerintah berencana menaikkan harga BBM subsidi seperti Pertalite dan Solar. Ketua Gabungan Produsen Makan Minuman (Mamin) Indonesia Adhi S Lukman menjelaskan kenaikan harga BBM tidak langsung berimbas pada sektor industri makanan dan minuman.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, ia tak dapat memungkiri kalau industri mamin memang ikut terdampak. Tidak hanya industri makanan minuman saja, semua industri merasakan hal yang sama.
"Saya lebih berpikir lebih luas, tidak hanya sekadar naik BBM, kemudian berpengaruh ke industri makanan dan minuman. Pasti pengaruhnya ada, bukan hanya industri makanan dan minuman. Semua industri ada," kata Adhi dalam acara Press Conference Fi Asia 2022 di Hotel Century Park Senayan, Selasa (30/8).
Adhi menyetujui adanya kenaikan harga BBM. Menurutnya, apabila harga BBM tidak naik, kondisi perekonomian Indonesia justru akan macet.
Hal ini disebabkan oleh subsidi energi yang sudah semakin naik otomatis akan membuat pemerintah tidak sanggup menggerakkan perekonomian. Ia menilai industri makanan dan minuman hanya akan mempengaruhi sektor hulu dan hilir.
ADVERTISEMENT
"Hitung-hitungannya, kalau industri makanan dan minuman kan BBM itu akan berpengaruh paling besar baik di hulu bahan baku maupun hilir produk jadi," kata dia.
Di sisi lain, Adhi melihat industri makanan dan minuman terbukti tangguh. Sebab, industri makanan dan minuman beserta facturing-nya sendiri sudah tidak mengandalkan BBM subsidi.
Industri makanan dan minuman terbukti mampu melewati berbagai gejolak terutama saat harga BBM sempat menyentuh nyaris USD 150 per barel. Bahkan, saat ini harga BBM sudah kembali normal menjadi USD 95 per barel.
Ilustrasi belanja di supermarket. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
"Kita terbukti tangguh, karena industrinya sendiri dengan facturing-nya sendiri BBM sudah tidak ada subsidi sudah komersial," ungkap Adhi.
Ia mengungkapkan, permasalahan harga BBM berada pada logistik. Dalam industri makanan dan minuman, kalau harga BBM naik akan mempengaruhi distribusi logistik sebesar 4 hingga 8 persen.
ADVERTISEMENT
Namun, ia menjelaskan harga logistik itu tergantung pada nilai barang. Semakin mahal nilai barangnya, semakin kecil persentasenya.
"Katakan kita habis 6 persen biaya logistik, kalau BBM rata-rata pengaruhnya saya lihat kira-kura 50 persen dari biaya transportasi, sopir, biaya tol, dan lain-lain. Katakan itu 50 persen pengaruhnya. Kalau itu 50 persen berarti kira-kira 15 persen, 15 persen dari 6 persen berarti hampir 1 persen di hilir, 1 persen di hulu. Kira-kira akan berpengaruh sekitar 1 sampai 2 persen terhadap produk itu sendiri," jelasnya.

Industri Makanan dan Minuman Tidak Akan Menaikkan Harga

Selain itu, Adhi menyebutkan industri makanan dan minuman harus menerima apa pun kondisi harga BBM. Ia sebagai pemegang merek pun harus memperhatikan daya beli masyarakat.
Adhi juga lebih memilih untuk mengurangi margin ketimbang menaikkan harga. Pasalnya, apabila harga naik akan berdampak pada bahan olahan serta menyulitkan negosiasi kepada retail.
Proses produksi minuman di Pabrik Bekasi 1 Coca Cola Europasific Partners (CCEP) Indonesia, Kamis (9/12). Foto: Akbar Maulana/kumparan
"Saya lebih condong yaudah kita mengurangi margin daripada naikkan harga, karena kalau menaikkan harga bahan olahan tidak gampang, cukup panjang dan negosiasi sama ritel cukup panjang. Kita lebih baik santai saja," pungkas Adhi.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, ia berkorban mengurangi margin sembari terus mengembangkan inovasi dan efisiensi agar penurunan margin tidak terlalu berat. Untungnya, pemerintah sudah menyiapkan Rp 24 triliun untuk meningkatkan daya beli di tengah kenaikan harga BBM. Ia berharap, dengan adanya dana tersebut mampu membantu industri makanan dan minuman untuk bisa terus berproduksi.
"Mudah-mudahan dibalik produk kami industri dibeli kami bisa produksi terus, pekerjaan terus, jalan ekonomi terus berputar. Itu logikanya menurut saya sehingga, ya, sudah ini dunia yang tidak bisa dihindari," tandasnya.