Tak Terkendala Intermitensi, Panas Bumi Bisa Jadi Pengganti PLTU

14 Juni 2022 13:21 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang di Gunung Guntur, Garut, Jawa Barat, Sabtu (14/3/2020). Foto: Ema Fitriyani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang di Gunung Guntur, Garut, Jawa Barat, Sabtu (14/3/2020). Foto: Ema Fitriyani/kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah upaya pemerintah transisi energi dari fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT), panas bumi bisa menjadi sumber daya alam yang ideal menggantikan Pembangkit Listrik Batu Bara (PLTU). Saat ini, PLTU mendominasi produksi listrik nasional, mencapai 60 persen.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi panas bumi di Indonesia mencapai 23,7 GW. Dengan kapasitas pembangkit listrik panas bumi (PLTP) sebesar 2.276 MW, pemanfaatan panas bumi di Indonesia juga menempati posisi kedua setelah Amerika Serikat.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan dengan cadangan yang besar, panas bumi memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan jenis EBT lain, salah satunya tak terkendala intermitensi seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang bergantung pada cuaca. Apalagi pemerintah memiliki target bauran energi 23 persen pada 2025. Saat ini, realisasi tercatat baru 13 persen.
"Panas bumi dapat menjadi baseload (beban dasar) karena tidak menghadapi masalah intermitensi. Selain itu, kita punya cadangan panas bumi cukup besar, sekitar 23,7 GW,” ujar Komaidi dalam keterangan, Selasa (14/6).
ADVERTISEMENT
Komaidi mengatakan, pengembangan energi primer dari energi fosil ke EBT dengan menempatkan panas bumi sebagai skala prioritas tidaklah berlebihan. Dengan sumber daya yang besar seharusnya panas bumi menjadi potensi yang mendapatkan perhatian lebih.
“Pemanfaatan saat ini saja masih jauh dari jumlah cadangan yang terbukti,” ujarnya.
Menurut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Perusahaan Listrik Negara (PLN) 2021-2030, Indonesia memiliki potensi panas bumi sebesar 23,965 GW. Potensi terbesarnya ada di Pulau Sumatera, yakni sebesar 9,679 GW. Meski punya potensi terbesar, kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) terpasang di Sumatera baru 562 Megawatt (MW) atau 5,8 persen dari total potensinya. Artinya, masih ada sekitar 94 persen potensi yang belum digarap.
ADVERTISEMENT
Sedangkan di Pulau Jawa, potensi panas bumi sebesar 8,107 GW. PLTP yang terpasang baru berkapasitas 1.254 MW atau 15,5 persen dari potensinya. Sedangkan Sulawesi dengan potensi panas bumi 3,068 GW. Namun, PLTP yang terpasang baru 120 MW atau 3,9 persen dari potensinya. Adapun di Nusa Tenggara, potensi panas bumi 1,363 GW dan kapasitas terpasang 12,5 MW. Sementara itu, Maluku memiliki potensi 1,156 GW, Bali 335 MW, Kalimantan 182 MW, dan Papua 75 MW. Belum ada kapasitas terpasang PLTP di keempat pulau tersebut.
Dalam RUPTL PLN 2021-2030, pembangkit EBT mencapai 20,9 GW atau 51 persen lebih tinggi dari energi fosil (thermal) sebesar 19,7 GW. Dari 20,9 GW itu, 10,4 GW dari PLTA dan 3,4 GW dari panas bumi.
ADVERTISEMENT
Pakar ekonomi energi dari Universitas Trisakti itu mengatakan, meskipun panas bumi memiliki cadangan besar, tidak mudah untuk memonetisasinya. Menurut dia, kunci utama dalam pengembangan semua jenis EBT termasuk panas bumi ada di PLN karena BUMN di sektor ketenagalistrikan itu adalah pembeli tunggal atau monopsoni. Jika PLN tidak bersedia membeli dengan berbagai justifikasi, pengembang EBT tidak punya pilihan atau opsi lain untuk menjualnya.
"Salah satu upaya yang dapat dilakukan memberikan ruang agar pengembang bisa menjual listrik selain kepada PLN. Jika hal tersebut dapat dilakukan saya kira pengembangan EBT tidak hanya bergantung pada PLN,“ ujar Komaidi.

Pembangkit EBT Jadi Tantangan PLN

PLTP Kamojang yang dioperasikan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE). Foto: Dok PGE
Sebelumnya, Direktur Mega Proyek dan EBT PLN Wiluyo Kusdwiharto menjelaskan pembangunan pembangkit EBT sangat menantang bagi PLN. Hal itu disebabkan oleh kondisi kelebihan pasokan yang dialami PLN. Dia optimistis dengan kerja sama para stakeholder dan para pihak, nantinya tumbuh permintaan (demand). Apalagi saat ini demand mulai tumbuh 8 persen.
ADVERTISEMENT
“Sesuai prediksi kami, ke depannya akan tumbuh signifikan sehingga dapat mempercepat pembangunan pembangkit renewable baru,” ujarnya dalam Acara Bincang-bincang METI yang merupakan rangkaian kegiatan Launching The 11th Indonesia EBTKE Conference and Exhibition (EBTKE CONEX) 2022, Kamis (2/6).
Menurut Wiluyo, panas bumi mendapatkan prioritas kedua untuk dikembangkan setelah PLTA. Dia menilai,tantangan pengembangan panas bumi yang paling terasa adalah dari sisi biaya. Untuk mengejar target RUPTL, PLN tidak bisa sendiri dan harus bekerja sama dengan pihak lain.
"Tahun 2030 pembangkitan renewable bisa meningkat 28 GW. Pembangunan geothermal kami alokasikan 3,4 GW. Butuh biaya yang sangat tinggi untuk bangun pembangkit sampai 2060. Kami buka pintu bagi pihak swasta untuk bangun bersama pembangkit-pembangkit renewable," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Mantan Direktur Transmisi dan Distribusi PLN (2003-2008) Herman Darnel Ibrahim mengakui ada beberapa masalah yang dihadapi guna mengejar target EBT dalam bauran energi, antara lain teknis, regulasi dan koordinasi, serta pendanaan. Solusi mengatasi masalah dalam pengembangan panas bumi tidak bisa mengandalkan satu institusi.
“Potensi panas bumi yang besar akan percuma jika tidak bisa monetisasi,” ujarnya.
Menurut dia, Indonesia harus terus membangun science and technology panas bumi, tidak cukup hanya bangga punya potensi 40 persen dunia. Aspek regulasi pengembangan panas bumi juga harus mendukung.
“Kumpulkan seluruh aturan, pusat-daerah, Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Keuangan. Perbaiki semua untuk kemudahan pembangunan panas bumi," kata Herman yang juga Anggota Dewan Energi Nasional Perwakilan Industri.
ADVERTISEMENT