Tak WFH di Tengah Ledakan COVID-19, Ribuan Buruh Pabrik Terpapar di Tempat Kerja

19 Juli 2021 12:44 WIB
·
waktu baca 2 menit
Buruh linting rokok beraktivitas di salah satu pabrik rokok di Blitar, Jawa Timur, Kamis (25/3/2021). Foto: Irfan Anshori/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Buruh linting rokok beraktivitas di salah satu pabrik rokok di Blitar, Jawa Timur, Kamis (25/3/2021). Foto: Irfan Anshori/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Pembatasan kegiatan di tengah kebijakan PPKM Darurat karena ledakan kasus COVID-19, nyaris tidak berlaku bagi buruh pabrik. Jutaan pekerja di sektor manufaktur TGSL alias tekstil, garmen, sepatu dan kulit, tetap bekerja dari pabrik.
ADVERTISEMENT
Kondisi tersebut diungkapkan serikat pekerja di sejumlah sektor ini yang tergabung dalam DSS-TGSL. Buruh-buruh ini sebagian besar pekerja pabrik di wilayah Cakung, Tangerang, Subang, Sukabumi, serta Solo.
Menurut Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Dian Septi Trisnanti, puluhan pabrik di wilayah tersebut tidak memberlakukan Work From Home (WFH) alias masih beroperasi 100 persen. Hal ini menjadikan pabrik sebagai salah satu klaster penyebaran COVID-19.
"Para pekerja wajib bekerja, jika tidak akan kehilangan pekerjaan. Jutaan pekerja bekerja penuh waktu, bahkan melakukan lembur dalam ruang tertutup dan padat tanpa alat pelindung diri dan fasilitas kesehatan memadai," ujar Dian dalam virtual conference, Senin (19/7).
"Akibat situasi di atas amat jelas, klaster pabrik termasuk paling agresif. Data kami serikat buruh sektor TGSL menunjukkan itu, dalam dua minggu terakhir saja ribuan anggota kami terpapar di tempat kerja," sambung Dian.
ADVERTISEMENT
Klaster pabrik ini kemudian berimbas pada munculnya klaster hunian. Menurut Dian, sebagian besar buruh tersebut tinggal di wilayah padat penduduk.
Sebetulnya, kata Dian, tuntutan kerja yang dihadapi para buruh ini menjadi jauh lebih berat bahkan sejak awal tahun 2021, sebelum berlakunya PPKM Darurat. Implementasi Omnibus Law UU Cipta kerja disinyalir jadi faktor utama yang memperburuk situasi mereka.
Sejumlah buruh pabrik di Jalan Industri. Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
"Dengan merujuk UU Cipta Kerja, sejumlah perusahaan TGSL telah mengubah sistem kerja dari pekerja tetap menjadi pekerja borongan. Pekerja ini kehilangan fasilitas upah tetap, kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan. Akhirnya mereka memaksa diri terus bekerja karena takut kehilangan upah," pungkasnya.
Atas dasar itu, gabungan serikat pekerja sektor manufaktur menuntut pemerintah memastikan perlindungan hak atas kesehatan dan hak pekerja.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pemerintah diharapkan memberikan sanksi tegas pada perusahaan yang melakukan pelanggaran PPKM Darurat, dengan mewajibkan pekerja bekerja namun tidak memfasilitasi APD hingga akses kesehatan.
"Kami juga menuntut pemerintah melakukan moratorium pelaksanaan Omnibus Law UU Cipta Kerja selama pandemi berlangsung. Sanksi tegas pengusaha yang melakukan PHK, merumahkan tanpa upah, ataupun memotong upah," tutur Dian Trisnanti.