Tantangan untuk Arifin Tasrif: Eksplorasi Migas hingga Mobil Listrik

23 Oktober 2019 17:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri ESDM Arifin Tasrif di Istana Merdeka, Jakarta.  Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
zoom-in-whitePerbesar
Menteri ESDM Arifin Tasrif di Istana Merdeka, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
ADVERTISEMENT
Arifin Tasrif, mantan Duta Besar Indonesia untuk Jepang, resmi diangkat menjadi Menteri ESDM dalam Kabinet Indonesia Maju. Berbagai tantangan sudah menanti. Misalnya soal impor migas yang kerap disoroti Presiden Joko Widodo (Jokowi).
ADVERTISEMENT
Di periode pertama pemerintahannya, Jokowi berkali-kali rapat dan menegur beberapa menteri karena defisit neraca perdagangan. Pada 2018, neraca perdagangan defisit sebesar USD 8,57 miliar, terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Penyebab utama tingginya defisit ini adalah membengkaknya impor migas.
Sekarang Indonesia mengimpor 800 ribu barel minyak setiap hari, sekitar 50 persen dari kebutuhan nasional. Bahkan, Indonesia diprediksi bisa menjadi importir gas pada 2022 kalau eksplorasi dan infrastruktur gas yang dibangun tak memadai. Impor makin besar karena produksi migas terus menurun.
Indonesia memerlukan tambahan cadangan minyak dan gas dalam jumlah yang sangat besar. Dengan cadangan minyak yang terbukti sebesar 3,3 miliar barel dan produksi minyak per tahun mencapai 300 juta barel saat ini, Indonesia harus mendapatkan cadangan baru agar impor minyak tak semakin membengkak.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya Indonesia masih punya potensi migas yang cukup besar. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat, hingga awal 2018 terdapat 128 cekungan di seluruh Indonesia yang berpotensi memiliki kandungan hidrokarbon. Adapun hidrokarbon merupakan senyawa migas.
Petugas pertamina di lokasi pengeboran sumur eksplorasi kotalama-3. Foto: Dok: Istimewa
Dari 128 cekungan tersebut, sebanyak 74 cekungan hingga saat ini masih belum dieksplorasi untuk kemudian dimanfaatkan hasil migasnya. Padahal jika dieksplorasi, Indonesia dapat memiliki cadangan migas baru.
Ada berbagai hal yang membuat investor malas melakukan eksplorasi migas di Indonesia. Mulai dari ruwetnya perizinan hingga masalah keekonomian.
PT Pertamina (Persero), satu-satunya BUMN perminyakan Indonesia, juga malas mencari cadangan baru. Cadangan migas besar yang terakhir kali ditemukan Pertamina adalah Jatibarang pada 1967 alias 52 tahun lalu.
ADVERTISEMENT
"Sudah sekian tahun tidak ada eksplorasi besar yang kita lihat sampai kita menurun, menurun, dan menurun sehingga kita semakin lama impornya semakin banyak," kata Jokowi saat menghadiri Indonesia Petroleum Association Convention and Exhibition 2018, 2 Mei 2018 lalu.
Jokowi pun meminta Kementerian ESDM dan SKK Migas untuk terus memangkas birokrasi agar eksplorasi makin mudah. "Kalau saya melihat begini lho, kok eksplorasi enggak naik tapi semakin menurun. Ini pasti ada apa-apanya. Itu saya perintahkan untuk menyederhanakan prosedur perizinan di ESDM atau SKK Migas juga sama. Kalau masih dianggap masih ruwet, di sebelah mana supaya produksi meningkat dan eksplorasi orang lebih tertarik untuk masuk ke hulunya. Nanti tanya ke pelaku (usaha)," tegasnya.
ADVERTISEMENT
Arifin Tasrif harus segera tancap gas menggenjot eksplorasi migas.
Kepastian Hukum untuk Adaro Cs
Delapan perusahaan tambang batu bara pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi I butuh kepastian. Salah satu di antaranya, yaitu PT Tanito Harum (2019), sudah habis kontraknya.
Sedangkan tujuh lainnya segera habis kontraknya, yakni PT Arutmin Indonesia (2020), PT Kendilo Coal Indonesia (2021), PT Kaltim Prima Coal (2021), PT Adaro Energy Tbk (2022), PT Multi Harapan Utama (2022), PT Kideco Jaya Agung (2023), dan PT Berau Coal (2025).
Pada Januari lalu, Tanito Harum sebenarnya telah memperoleh perpanjangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) selama 10 tahun yang berlaku hingga 2029.
Namun, surat dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk Jokowi membuat Kementerian ESDM pada Juni 2019 lalu harus membatalkan IUPK tersebut. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP No. 23/2010), perpanjangan untuk pemegang PKP2B akan diberikan dalam bentuk IUPK.
ADVERTISEMENT
Namun, KPK menyebutkan bahwa revisi PP No. 23/2010 wajib mengacu pada Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba). Revisi PP No. 23/2010 sendiri belum diteken Jokowi ketika IUPK itu diterbitkan. Sebab, masih ada perbedaan pendapat antara Kementerian ESDM dengan Kementerian BUMN. Sama dengan KPK, Kementerian BUMN menilai revisi PP tersebut tak sejalan dengan UU Minerba.
Tambang batu bara Adaro, Kalimantan Selatan. Foto: Michael Agustinus/kumparan
KPK dan Kementerian BUMN ingin wilayah eks PKP2B dikembalikan dulu kepada negara, kemudian diprioritaskan untuk diberikan kepada BUMN. Hal ini mengacu pada Pasal 75 ayat 3 dalam UU Minerba. Kemudian di Pasal 75 ayat 4 diatur bahwa badan usaha swasta hanya dapat memperoleh IUPK melalui lelang.
Agar kedelapan pemegang PKP2B Generasi I itu bisa memperoleh perpanjangan dalam bentuk IUPK, sebenarnya pemerintah bersama DPR telah berupaya merevisi UU Minerba. Namun revisi yang dilakukan di ujung periode masa jabatan para anggota Dewan itu akhirnya batal karena mendapat protes dari masyarakat. Proses revisi dinilai tidak transparan, dikhawatirkan merugikan kepentingan rakyat. Sampai saat ini nasib 8 perusahaan tersebut pun jadi menggantung.
ADVERTISEMENT
Ketidakpastian ini membuat perusahaan-perusahaan tersebut bakal menahan investasinya. Dampaknya, produksi batu bara nasional bisa terganggu. Sementara batu bara adalah komoditas ekspor terbesar Indonesia saat ini. Imbasnya masih banyak lagi, mulai dari ke penerimaan negara, pasokan bahan bakar untuk PLN, tenaga kerja di sektor pertambangan, dan sebagainya.
Sekitar separuh dari produksi batu bara nasional berasal dari perusahaan pemegang PKP2B Generasi I. Sebagai gambaran, menurut data Kementerian ESDM, Kaltim Prima Coal memproduksi 60 juta ton batu bara pada 2017, Adaro 50 juta ton, Berau Coal 33 juta ton, Kideco Jaya Agung 32 juta ton, Arutmin 28,8 juta ton. Pada 2017, total produksi nasional sebesar 461 juta ton. Kelima perusahaan itu masuk dalam daftar 10 besar produsen batu bara terbesar di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Karena itu, Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, berharap agar pemerintah bisa segera menemukan formula kebijakan baru yang memberi kepastian bagi para pemegang PKP2B Generasi I.
"Semangatnya harus untuk kepentingan negara yang lebih besar, harus segera diatur kembali agar ada dasar hukum dan kepastian untuk investor, harus dicari jalan tengah," tegasnya.
Merampungkan Program 35.000 MW
Hingga Juli 2019 pembangkit listrik dari program 35.000 Mega Watt (MW) yang sudah beroperasi sekitar 3.768 MW. Angka ini baru 11 persen dari pembangkit-pembangkit listrik di program 35.000 MW.
Adapun yang masih dalam tahap konstruksi mencapai 30.960 MW atau sebesar 87 persen. Sisanya, sebanyak 734 MW atau 2 persen masih dalam tahap perencanaan.
ADVERTISEMENT
Untuk pembangunan jaringan transmisi sampai dengan Juli 2019, ada sebanyak 17.522 kms atau sebesar 37 persen yang telah selesai dan beroperasi. Adapun 16.794 kms atau 35 persen transmisi dalam proses penyelesaian. Sisanya sekitar 13.250 kms atau 28 persen, masih tahap pra-konstruksi.
PLTU Jeranjang. Foto: Dok. PLN
Sedangkan Gardu Induk, sampai dengan Juli 2019, sebanyak 64.080 MVA atau sebesar 56 persen telah selesai dan beroperasi. Sebanyak 24.664 MVA atau sebesar 22 persen masih dalam proses penyelesaian. Sisanya sekitar 25.540 MVA atau sebesar 22 persen masih dalam tahap pra-konstruksi.
Program ini harus terus dikawal agar ketersediaan listrik bagi masyarakat terjamin. Hal ini penting untuk mendorong perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Apalagi kendaraan listrik akan segera menggantikan kendaraan berbahan bakar minyak. Maka terjaminnya suplai listrik jadi sangat penting.
ADVERTISEMENT
Menyiapkan Infrastruktur untuk Kendaraan Listrik
Peraturan Presiden (Perpres) kendaraan listrik akhirnya terbit pada Agustus 2019 lalu, setelah ditunggu-tunggu selama 2 tahun.
Jokowi menuturkan, dengan adanya perpres ini pula diharapkan industri mobil listrik di Indonesia dapat ditingkatkan. Telebih bahan pembuatan baterai yang menjadi penggerak mobil listrik ada di Indonesia.
"Ya kita ingin mendorong agar industri otomotif mau segera merancang mempersiapkan untuk ya membangun industri mobil listrik di Indonesia," ucapnya.
Namun ini belum selesai, masih perlu ada lagi dukungan tiga Peraturan Menteri untuk pelaksanaannya, mulai dari Peraturan Menteri Keuangan, Perindustrian dan Perhubungan.
Kendaraan listrik sangat penting untuk mengurangi impor minyak sekaligus menghilangkan polusi udara. Menteri ESDM yang baru harus memastikan ketersediaan pasokan listrik dan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik umum (SPKLU).
ADVERTISEMENT
Mengejar Target 23 Persen Energi Terbarukan di 2025
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), pemerintah menargetkan pada 2025 porsi energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional di Indonesia mencapai 23 persen. Tapi, hingga saat ini porsi EBT baru mencapai angka 13 persen.
Menurut Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Abadi Poernomo, target EBT 23 persen di 2025 itu bisa dikejar dengan menggenjot pengembangan mobil listrik dan pemasangan panel surya atap (solar PV rooftop).
Petugas memeriksa instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di atap Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (6/9). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Dengan adanya mobil listrik, impor minyak dan BBM akan terpangkas. Namun tidak akan langsung hilang seluruhnya karena peralihan dari mobil berbahan bakar minyak ke mobil listrik berlangsung secara bertahap. Tapi setidaknya impor minyak dan BBM bisa ditahan.
ADVERTISEMENT
Pengembangan mobil listrik ini perlu dibarengi dengan penggunaan panel surya atap (solar PV rooftop) agar Indonesia tak bergantung pada energi fosil.
"Kalau mobil listrik sudah digunakan, orang pasti butuh banyak listrik. Mereka pasti enggak mau bayar listrik yang mahal, karena itu pasang solar PV rooftop untuk isi baterai mobil listrik," katanya.
Meski sulit dicapai, target EBT 23 persen pada 2025 harus tetap dikejar sekuat tenaga oleh Menteri ESDM yang baru. Sebab, Indonesia sudah meratifikasi Paris Agreement yang disepakati dalam Konferensi Global Perubahan Iklim (CoP) ke-21.