Tax Amnesty Jilid II Dianggap sebagai 'Insentif' untuk Pengemplang Pajak

8 Oktober 2021 13:55 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jokowi memberikan sambutan. Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi memberikan sambutan. Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan
ADVERTISEMENT
Adanya tax amnesti jilid II di Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dianggap kurang tepat. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menganggap masuknya pengampunan pajak di UU tersebut merupakan langkah mundur dalam upaya peningkatan kepatuhan pajak. Tak hanya itu, ia juga menilai tax amnesty jilid II sebagai 'insentif' bagi pengemplang pajak.
ADVERTISEMENT
Bhima mengatakan, seharusnya kepatuhan membayar pajak yang lebih didorong. Bukan justru memberikan kesempatan amnesti bagi wajib pajak yang tak patuh, lantaran pemerintah telah memberikan pengampunan itu di 2016 silam.
“Yang terjadi justru ada penurunan kepercayaan terhadap pemerintah karena tax amnesty ternyata berulang lagi, tidak sesuai dengan komitmen tax amnesty di 2016 lalu bahwa setelahnya adalah rezim penegakan hukum perpajakan,” kata Bhima saat dihubungi kumparan, Jumat (8/10).
“Banyak yang berasumsi kalau ada tax amnesty jilid II, kenapa tidak mungkin ada tax amnesty jilid III? Akibatnya tax amnesty akan dijadikan peluang bagi pengemplang pajak,” tambahnya.
Selain itu, kata Bhima, pemerintah di UU HPP juga tidak menjelaskan mekanisme screening harta para wajib pajak yang ikut tax amnesty, misalnya melalui penugasan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
ADVERTISEMENT
Ia merasa selama tidak ada screening dan pengawasan, bisa saja harta yang dilaporkan adalah harta hasil money laundry atau pencucian uang, hasil kejahatan, hingga aset hasil penghindaran pajak lintas negara.
“Justru tax amnesty jilid II memberi ruang bagi kejahatan finansial antar negara. Merasa dapat pengampunan maka tidak perlu ada konsekuensi hukumnya,” ujar Bhima.
Ilustrasi pelaporan SPT Pajak tahunan. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Bhima juga mengutip di Pasal 6 ayat 6 dalam UU HPP yang data dan informasi yang bersumber dari surat pemberitahuan pengungkapan harta dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini, tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak.
“Secara tarif pajak atau tebusan memang lebih tinggi dibandingkan tax amnesty jilid I, tapi tetap saja rendah. Artinya, pengemplang pajak tetap akan manfaatkan tax amnesty jilid II ini karena biaya pengampunannya masih dianggap rendah,” terang Bhima.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Bhima membeberkan evaluasi tax amnesty jilid I ternyata juga tidak ada korelasi antara pengampunan pajak terhadap naiknya tax ratio jangka panjang. Ia menunjukkan pada tahun 2017 rasio pajak tercatat 9,9 persen, kemudian paska tax amnesty hingga 2020 tax ratio turun ke 8,3 persen.
“Kalau ada yang janji paska tax amnesty akan terjadi konsistensi kenaikan rasio pajak faktanya tidak demikian. Tax amnesty hanya membantu dalam 1 tahun fiskal saja, sangat temporer,” ungkap Bhima.
Bhima menganggap kondisi tersebut disebabkan karena follow up terhadap data pajak tax amnesty ternyata tidak dilakukan secara serius. Bahkan menurutnya, tax amnesty jilid II menjadi 'insentif' bagi pengemplang pajak.
“Justru tax amnesty menjadi insentif bagi pelaku usaha untuk terus lakukan penghindaran pajak,” ujar Bhima.
ADVERTISEMENT
Lalu, siapa yang diuntungkan dengan adanya tax amnesty jilid II?
Bhima merasa kalau dilihat dari sektornya adalah pengolahan SDA, misalnya mau masuk ke smelter nikel itu sangat diuntungkan dengan tax amnesty jilid II. Sebab, ada klausul detail dalam pasal 5 ayat 7 bahwa investasi di sektor pengolahan SDA akan mendapat pajak tax amnesty lebih rendah daripada non-SDA.
“Akan ada banjir investasi di pengolahan barang tambang. Kemudian sektor kedua yang berkaitan dengan lembaga keuangan yang mendapat fee dari penerbitan SBN. Karena investasinya didorong beli SBN pemerintah maka pasar surat utang jadi menarik,” kata Bhima.
Bhima mengingatkan dampak terhadap ekonomi yang perlu diperhatikan adalah crowding out effect. Menurutnya, deposan akan pindahkan dana dari bank untuk bayar tebusan tax amnesty.
ADVERTISEMENT
“Padahal bank perlu likuiditas untuk dorong pertumbuhan kredit. Akibatnya bank bisa tawarkan bunga lebih mahal. Ini harus jadi perhatian serius,” tutur Bhima.