Terkuak, Ini Sebab Gubernur BI Telat Hadir di Sidang Kabinet saat Jokowi Marah

29 Juni 2020 9:23 WIB
comment
27
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Momen Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo telat datang saat Rapat Kabinet 18 Juni 2020. Foto: Youtube/@Sekretariat Presiden
zoom-in-whitePerbesar
Momen Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo telat datang saat Rapat Kabinet 18 Juni 2020. Foto: Youtube/@Sekretariat Presiden
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Presiden Jokowi tampak marah saat membuka sidang kabinet di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Kamis (18/6). Video yang baru dirilis pada Minggu (28/6) sore itu ternyata mengisahkan cerita.
ADVERTISEMENT
Sumber kumparan menceritakan, Jokowi ternyata enggan membuka rapat karena ada satu bangku kosong milik Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo. Jokowi pun memilih menunggu.
Perry ternyata telat sekitar 30 menit. Dia duduk di samping Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso.
Setelah Perry duduk, barulah Jokowi berdiri untuk membuka rapat, yang ternyata menyampaikan pidato penuh kegeraman, terkait kinerja para pejabat di bawahnya pada masa pandemi.
Dari penelusuran kumparan terhadap agenda kerja BI, di hari yang sama dengan sidang kabinet tersebut, tengah berlangsung Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan, yang dilakukan sejak 17-18 Juni 2020. Jadwal RDG hingga Desember 2020 juga telah ditetapkan bank sentral sejak awal tahun ini.
ADVERTISEMENT
Soal bentrokan waktu pelaksanaan RDG dengan sidang kabinet paripurna yang Perry Warjiyo datang terlambat, kumparan sudah mengonfirmasi ke Kepala Departemen Komunikasi BI, Onny Widjanarko, namun belum direspons.
RDG rutin dilakukan bank sentral setiap bulan untuk melihat perkembangan ekonomi global dan domestik serta menentukan kebijakan moneter, salah satunya berupa suku bunga acuan BI.
RDG bulanan hari pertama dilaksanakan untuk memperdalam hasil asesmen sektor moneter, termasuk materi ekonomi regional (perkembangan ekonomi dari berbagai daerah di seluruh Indonesia), sektor stabilitas sistem keuangan, sektor sistem pembayaran, dan pengelolaan uang rupiah, serta mengintegrasikan opsi-opsi bauran kebijakan yang akan ditempuh BI. Selanjutnya, RDG bulanan hari kedua dilaksanakan untuk menetapkan bauran kebijakan BI.
Momen Gubernur BI Perry Warjiyo telat datang saat rapat kabinet 18 Juni 2020. Foto: Dok. YouTube Sekretariat Presiden
Pelaksanaan RDG Bank Indonesia diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan dilaksanakan RDG untuk menetapkan kebijakan umum di bidang moneter.
ADVERTISEMENT
“RDG bulanan merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi untuk melakukan evaluasi atas kebijakan moneter yang ditempuh serta untuk menetapkan arah kebijakan moneter ke depan,” tulis laman resmi BI, seperti dikutip kumparan, Senin (29/6).
Adapun pada 18 Juni tersebut merupakan hari penting. Sebab pada siangnya, Perry mengumumkan bahwa suku bunga acuan atau BI 7 Day Repo Rate turun 25 basis poin menjadi 4,25 persen setelah tiga bulan ditahan di level 4,5 persen.
Bersamaan dengan terbitnya keputusan penurunan suku bunga acuan itu, di Istana Kepresidenan Jakarta berlangsung sidang kabinet paripurna yang dipimpin Presiden Jokowi.
"Suasana dalam tiga bulan ke belakang ini dan ke depan, mestinya yang ada adalah suasana krisis. Kita juga mestinya juga semuanya yang hadir di sini, sebagai pimpinan, sebagai penanggung jawab, kita yang berada di sini ini bertanggung jawab kepada 260 juta penduduk Indonesia. Tolong garis bawahi, dan perasaan itu tolong kita sama, ada sense of crisis yang sama," ucap Jokowi memulai rapat.
ADVERTISEMENT
Jokowi lalu bicara soal sejumlah anggaran di kementerian yang tertahan, padahal sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Seperti tunjangan untuk tenaga medis, anggaran bansos, stimulus untuk UMKM, serta bantuan bagi korban PHK.
"Saya melihat masih banyak kita yang menganggap ini normal. Lha kalau saya lihat, Bapak, Ibu, saudara-saudara masih ada yang lihat ini sebagai sebuah ini masih normal, berbahaya sekali. Kerja masih biasa-biasa saja. Ini kerjanya memang harus ekstra luar biasa, extraordinary," ucap Presiden Jokowi dengan nada tinggi.