Trump Diprediksi Bakal Redam Dampak Kesepakatan OPEC dan Rusia
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Langkah pengurangan produksi ini bertujuan agar persediaan di pasar global tak membludak dan harga menjadi normal.Harga minyak dunia melonjak lebih dari 2 persen pada perdagangan Jumat (7/12) sebagai dampak dari kesepakatan tersebut.
Dilansir Reuters, Sabtu (8/12), harga minyak mentah Brent naik USD 1,64 atau 2,9 persen menjadi USD 61,70 per barel pada pukul 1.46 sore waktu New York. Di awal perdagangan, harga minyak yang menjadi patokan global tersebut turun di bawah USD 60 per barel karena kekhawatiran pelaku pasar tak ada keputusan apapun dalam pertemuan OPEC. Sedangkan untuk harga minyak mentah AS naik USD 1,10 menjadi USD 52,59 per barel, setelah sebelumnya mencapai sesi tertinggi di USD 54,22 per barel.
ADVERTISEMENT
Pemangkasan ini tentu akan berdampak pada harga minyak dunia di 2019. Tapi, menurut Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan, kenaikan harga minyak mentah pada tahun depan tak akan signifikan. Sebab, Amerika Serikat (AS) yang merupakan salah satu produsen minyak terbesar dunia saat ini tak sepakat dengan pemangkasan produksi.
Presiden AS Donald Trump ingin harga minyak dunia turun. Karena itu, AS diperkirakan akan menggenjot produksi untuk menahan kenaikan harga minyak.
"Kesepakatan pengurangan produksi 1,2 juta barel per hari cukup besar, kemungkinan ada tren kenaikan harga ke depan. Tapi perlu diingat juga, AS saat ini tidak berniat mengurangi produksi. Trump tidak mau harga minyak mahal, dan akan berupaya harga minyak tidak naik tinggi," kata Mamit kepada kumparan, Minggu (9/12).
Karena itu, Mamit memperkirakan bahwa harga minyak tetap naik tapi terbatas. "Perkiraan saya naik hingga kisaran USD 70 per barel," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, kenaikan harga minyak tahun depan tidak akan berdampak besar pada Indonesia. "Untuk Indonesia, akan ada kenaikan harga BBM tapi tidak signifikan," ujar Mamit.
Sebelumnya diberitakan, kesepakatan OPEC tersebut sempat menggantung selama dua hari. Hal ini karena adanya kekhawatiran Rusia akan memotong produksinya dalam jumlah yang sedikit, serta kekhawatiran ekspor minyak mentah Iran yang habis karena sanksi AS. Namun setelah berjam-jam pembicaraan, Iran memberi OPEC lampu hijau dan Rusia mengatakan siap untuk memangkas lebih banyak lagi.
Rusia memberikan komitmen untuk mengurangi output sebesar 228.000 bph dari level Oktober 2018 sebanyak 11,4 juta bph. Namun Rusia mengatakan pemotongan akan dilakukan bertahap dan berlangsung selama beberapa bulan.
Menteri Energi Rusia Alexander Novak mengatakan, Presiden Rusia Vladimir Putin telah membahas penurunan produksi dengan Pangeran Saudi Mohammed bin Salman.
ADVERTISEMENT
Irak, sebagai produsen terbesar kedua OPEC juga berjanji akan memotong 140.000 bph. Sementara produksi Saudi telah turun menjadi 10,7 juta bph pada Desember 2018 dari 11,1 juta pada November 2018, dan ditetapkan turun menjadi 10,2 juta bph pada Januari 2019.
Iran, Libya dan Venezuela secara efektif diberikan pengecualian. Nigeria, yang telah dibebaskan sejak putaran pemotongan sebelumnya dari Januari 2017, juga setuju untuk berpartisipasi.
Harga minyak telah jatuh 30 persen sejak Oktober 2018 karena pasokan yang melonjak dan pertumbuhan permintaan global yang melemah. Dengan adanya pemangkasan produksi, diharapkan harga minyak bisa kembali normal.