Untung dan Rugi dari Upaya Pemerintah Genjot Industri Baterai Kendaraan Listrik

2 Agustus 2022 16:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo saat peresmian Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) Ultra Fast Charging. Foto: ANTARA FOTO/Fikri Yusuf
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo saat peresmian Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) Ultra Fast Charging. Foto: ANTARA FOTO/Fikri Yusuf
ADVERTISEMENT
Pemerintah sedang menggenjot pembangunan industri baterai kendaraan listrik. Langkah tersebut juga menjadi salah satu upaya mendukung energi terbarukan dan menekan emisi karbon.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, pemerintah berupaya mengajak perusahaan asing agar mau berinvestasi di industri baterai listrik di Indonesia. Terbaru, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengungkapkan salah satu perusahaan dari Korea Selatan, LG Electronics akan merelokasi pabriknya ke Indonesia.
“Saya mendampingi Bapak Presiden untuk menerima LG secara khusus, di mana LG selain membangun EV (Electronic Vehicle) baterai yang terintegrasi dari hulu ke hilir, nantinya LG Electronics itu juga akan melakukan relokasi dari China ke Indonesia, termasuk R&D (Research & Development) nya,” kata Bahlil melalui keterangan tertulis, Sabtu (30/7).
Menanggapi kondisi tersebut, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, mengatakan masuknya perusahaan multinasional ke Indonesia untuk menanamkan investasinya tentu akan menciptakan banyak peluang keuntungan.
ADVERTISEMENT
“Masuknya perusahaan-perusahaan multinasional ke Indonesia untuk menanamkan investasinya tentu saja itu akan menciptakan banyak peluang di dalam negeri baik nilai tambah secara ekonomi dan tenaga kerjanya. Apalagi kalau dibangun itu dari hulu sampai hilir, sehingga sebagian besar nilai tambah dari rantai pasok perusahaan tersebut itu ada di Indonesia,” jelas Faisal kepada kumparan, Selasa (2/8).
Senada dengan Faisal, Direktur Riset CORE Piter Abdullah menegaskan bahwa adanya investasi besar oleh industri baterai akan menguntungkan. Sebab, kata Piter, pembangunan ini akan mengolah seluruh kekayaan di Indonesia.
Petugas mengganti baterai motor listrik dalam pameran Festival Energi Terbarukan di Jakarta, Kamis (2/6/2022). Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
“Artinya menjadi barang yang diekspor dari Indonesia, semua pajaknya untuk Indonesia, tenaga kerjanya mayoritas dari Indonesia. Kita tidak sanggup membangun pabrik-pabrik itu sendiri. Selain tidak punya uang, kita juga tidak punya teknologi. Kalau kita tidak mengundang pihak asing, meskipun kita kaya nikel tapi pabrik nikel tidak akan pernah berdiri,” tegas Piter
ADVERTISEMENT
Selain membawa keuntungan ekonomi yang berdampak positif untuk negara, pembangunan industri baterai listrik tersebut tidak serta merta membawa nilai baik saja. Pembangunan industri ini juga dinilai melahirkan berbagai ancaman yang berdampak pada rusaknya lingkungan sekitar, terutama di area pembangunannya.
Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, Rere Jambore Christanto, menyebutkan tumbuhnya industri baterai kendaraan listrik yang sedang dilakukan oleh pemerintah ini memiliki daya rusak lingkungan yang cukup besar. Menurutnya, hal itu dapat dilacak dari besarnya area hutan yang diambil alih oleh pertambangan nikel dan berimbas menyebabkan meningkatnya deforestasi.
Tidak hanya itu, kata Rere, industri tersebut juga menebar ancaman lainnya seperti, pencemaran air baik di sungai, danau maupun pesisir.
ADVERTISEMENT
“Saat ini setidaknya 693.246,72 hektare kawasan tutupan lahan hutan di Indonesia telah diberikan kepada korporasi pertambangan nikel. Salah satu contoh akibatnya bisa dilihat di Provinsi Sulawesi Selatan. Setidaknya 4.449,2 hektar hutan hujan di Sulawesi Selatan telah menghilang akibat pertambangan nikel, yang mengakibatkan Danau Mahalona terpapar lumpur tambang sehingga menyebabkan pendangkalan dan pencemaran lumpur tambang pada sungai Pongkeru dan Sungai Malili hingga sampai ke Pesisir Lampia di Sulawesi Selatan,” tutur Rere.
Lebih lanjut, Rere menepis pernyataan pemerintah yang menggunakan citra bahwa industri baterai dan kendaraan listrik ini dapat mengurangi emisi karbon. Menurutnya situasi eksisting pada hulu industri kendaraan listrik, yakni industri nikel yang menjadi salah satu komponen baterai kendaraan listrik, justru telah menyebabkan pelepasan emisi gas rumah kaca.
ADVERTISEMENT
“Industri nikel yang menjadi salah satu komponen baterai kendaraan listrik, justru telah menyebabkan pelepasan emisi GRK, baik akibat deforestasi pada wilayah pertambangan, penggunaan batu bara pada smelter dan pembangkit listriknya, hingga perusakan atau pencemaran sumber daya air yang turut menyebabkan turunnya produktivitas sektor pertanian dan perikanan yang telah menjadi sumber utama penghidupan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan,” terang Rere.
Menurutnya, pemerintah perlu melakukan review menyeluruh dari perizinan pertambangan nikel di Indonesia yakni, beberapa wilayah seperti kawasan hutan dan wilayah kelola rakyat harus menjadi wilayah yang harus dikecualikan dari aktivitas tambang agar tidak memperluas ancaman kerusakan.
Pemberian izin pertambangan nikel, kata Rere, harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan di wilayah tersebut untuk memastikan bahwa fungsi-fungsi layanan alam.
ADVERTISEMENT