Utang Pemerintah Makin Bengkak, Stafsus Sri Mulyani Buka Suara

9 Desember 2021 13:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan, Sri Mulyani memberikan keterangan pers terkait APBN Kinerja dan Fakta (Kita) Agustus 2019 di Kantor Kemenkeu. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan, Sri Mulyani memberikan keterangan pers terkait APBN Kinerja dan Fakta (Kita) Agustus 2019 di Kantor Kemenkeu. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Utang pemerintah yang terus membengkak kembali mendapat perhatian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2021, BPK tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga yang melampaui pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dan penerimaan negara.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut pun mendapat tanggapan dari Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani, Yustinus Prastowo. Menurutnya, pemerintah akan terus berkomitmen menjaga dan mengelola utang secara prudent atau hati-hati.
Yustinus menjelaskan, rasio utang terhadap PDB juga tetap dijaga di bawah 60 persen. Adapun di 2020, rasio utang pemerintah mencapai 39,4 persen dari PDB, naik 9,2 persen dibandingkan 2019.
"Penambahan utang dan biaya bunga telah direncanakan hati-hati setiap tahun, melalui perhitungan yang terintegrasi dengan rencana penerimaan dan belanja dalam APBN yang kemudian disepakati dan/atau dikonsultasikan dengan DPR RI. Rasio utang terhadap PDB tetap terjaga di bawah 60 persen PDB," tulis Yustinus seperti dikutip dari akun Twitternya, Kamis (9/12).
Di sisi lain, defisit APBN selama tahun lalu juga melebar menjadi 6,1 persen terhadap PDB. Yustinus menyebut, angka ini masih lebih rendah dibandingkan negara lain, seperti India yang defisit 12,3 persen, China 11,4 persen, Jepang 12,6 persen, Inggris 13,4 persen, dan AS 15,8 persen.
ADVERTISEMENT
Pelebaran defisit itu membuat rasio utang pemerintah di tahun lalu itu meningkat. Namun menurutnya, rasio utang terhadap PDB Indonesia juga masih rendah dari negara lain.
India memiliki rasio utang 89,6 persen PDB di 2020 atau naik 15,7 persen, China 66,8 persen atau naik 9,8 persen. Rasio utang Inggris mencapai 103,7 persen PDB atau naik 18,4 persen dari tahun 2019 dan Amerika Serikat memiliki rasio utang 127,1 persen di 2020 atau naik 18,9 persen dari tahun sebelumnya.
Selain rasio utang, BPK juga menuliskan adanya kerentanan utang pemerintah pada 2020 karena melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan/atau International Debt Relief (IDR).
Adapun rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen. Sementara rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen, juga melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-10 persen.
ADVERTISEMENT
Yustinus menyebut, indikator yang direkomendasikan IMF dan IDR itu didasarkan pada pertimbangan indikator kerentanan dalam kondisi normal atau sebelum adanya pandemi COVID-19.
"Kita mengantisipasi peningkatan risiko ini. Disiapkan upaya optimalisasi sumber pembiayaan non utang (SAL & Silpa), pemanfaatan pinjaman program dari lembaga multilateral & bilateral berbasis penanganan COVID-19 dengan bunga ringan, dan koordinasi & kerja sama dengan Bank Indonesia," jelasnya.
Dalam kerangka yang lebih luas, lanjut Yustinus, pemerintah melakukan konsolidasi fiskal menuju tingkat defisit kembali di bawah 3 persen PDB di tahun 2023. Hal ini termasuk melanjutkan upaya reformasi perpajakan untuk meningkatkan pendapatan negara, antara lain melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).