Utang Sudah Capai Rp 6.527 T, Mampukah Pemerintahan Jokowi Membayarnya?

11 Juni 2021 15:02 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo. Foto: Feline Lim/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo. Foto: Feline Lim/REUTERS
ADVERTISEMENT
Utang pemerintah terus melonjak. Per akhir April 2021, utang tersebut sudah mencapai Rp 6.527,29 triliun. Rasio utang pemerintah hingga periode tersebut sudah menyentuh 41,18 persen PDB.
ADVERTISEMENT
Pemerintah menganggap rasio itu masih aman karena di bawah batas yang diperbolehkan dalam Undang-Undang (UU) Keuangan Negara, yaitu maksimal 60 persen dari PDB.
Apa benar utang pemerintah di era pemerintahan Jokowi masih aman? Lalu, bagaimana kemampuan pemerintah membayar utang tersebut?
Direktur Center of Economic and Law Studies atau Celios, Bhima Yudhistira, menjelaskan ada beberapa indikator untuk melihat kemampuan membayar utang pemerintah. Pertama, dilihat dari perbandingan antara beban bunga utang dibagi dengan penerimaan pajak.
“Berdasarkan data APBN 2021, rasio antara beban bunga utang sudah mencapai 25 persen dari target penerimaan pajak. Ini menandakan porsi bunga utang sudah terlampau membebani anggaran,” kata Bhima saat dihubungi kumparan, Jumat (11/6).
“Apalagi di tengah rasio pajak yang terus menurun diperkirakan hanya 8 sampai 8,1 persen pada 2021. Tentu ini sudah lampu merah harusnya,” tambahnya.
Karyawan menghitung uang dolar Amerika Serikat (AS) di tempat penukaran valuta asing, Jakarta, Rabu (6/1). Foto: Fakhri Hermansyah/ANTARA FOTO
Indikator kedua adalah dilihat dari Debt Service Ratio atau DSR. Bhima mengatakan rasio itu untuk mengukur porsi utang luar negeri terhadap sumber-sumber penerimaan valas.
ADVERTISEMENT
“Tercatat dari data BI, DSR per data Mei 2021 meningkat menjadi 23,5 persen lebih tinggi dibandingkan posisi 2014 yakni 18,3 persen,” ujar Bhima.
Bhima mengungkapkan dalam kurun waktu 8 tahun terakhir terjadi ketidakseimbangan antara kemampuan penerbitan utang luar negeri baru dengan penerimaan dari sisi ekspor dan devisa lainnya.
Bhima membeberkan indikator ketiga adalah kekhawatiran risiko penerbitan utang sejalan dengan adanya taper tantrum dalam waktu dekat.
“Taper tantrum membuat investor melepaskan kepemilikan surat utang negara berkembang dan memilih aset yang aman. Kondisi 2013 bisa terjadi dan membuat pemerintah semakin sulit menerbitkan surat utang ke pasar,” ungkap Bhima.
Selanjutnya adalah akses penerbitan surat utang yang dapat menyebabkan crowding out effect. Bhima menyebut investasi swasta ke sektor riil dapat terganggu karena imbal hasil yang ditawarkan surat utang pemerintah lebih menarik dibandingkan berinvestasi secara riil.
ADVERTISEMENT
Bhima memperkirakan kalau situasi penerbitan utang terus berlanjut, bisa saja rasio utang akan menembus di level 60 persen. Ia khawatir kalau rasio tersebut terjadi membuat pemerintah mengubah kebijakan mengenai batasan rasio utang.
“Yang ditakutkan pemerintah akan kembali merevisi UU Keuangan 2003 dengan melebarkan batas rasio utang 60 persen dari PDB yang selama ini dijadikan rambu risiko utang,” tutur Bhima.